Selasa, 19 Juli 2011

Sajarah Muhammadiyah

Sejarah Muhammadiyah

 
 Masjid Bersejarah
PROLOG

Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan .
Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
 
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
 
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.

Eksistensi dan Kisar Gerakan Muhammadiyah

Indonesia memasuki abad ke-20 adalah sebuah negeri yang muram. Setelah runtuhnya kekuasaan-kekuasaan monarkis di Nusantara, negeri ini terbelenggu oleh kolonialisme. Hampir segeap sendi kehidupan terpasung secara semena-mena bersamaan dengan munculnya berbagai praktik kolonialisasi yang sengaja merampas dan mencekeram hak dan hajat hidup kaum pribumi. Sejarah panjang kolonialisme itu berlangsung berabad-abad, sadis dan serakah, serta menimbulkan getir trauma dan cedera historis yang cukup parah. Indonesia terkoyak tanpa daya, dimana sebagian besar rakyatnya terbenam ke dalam kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
 
Di rentang sejarah gelap kolonialisme itulah umat Islam Indonesia turut menanggung akibatnya. Sebagai entitas masyarakat mayoritas di Nusantara, umat Islam pun menjadi obyek dan sasaran kolonialisasi yang paling diperhitungakan karena terbukti kerap menyulut perlawanan rakyat secara terbuka dan bahkan besar-besaran. Di antara peristiwa perlawanan dimaksud adalah pecahnya Perang Suci: perlawanan umat Islam paling berdarah-darah sepanjang sejarah yang digerakkan dan dipelopori oleh barisan ulama Aceh. Tak lepas berkait dari itu, peristiwa penting yang menandai perlawanan umat Islam terhadap kolonialisme Belanda sebelumnya juga terjadi secara berturut-turut di berbagai belahan Nusantara, yakni Perang Padri di Minangkabau yang dipelopori Imam Bonjol dan Haji Miskin (1821-1838), Perang Sabil di Jawa yang dipelopori Pangeran Dipenogoro (1825-1830), serta Pemberontakan Tjilegon di Banten yang dipelopori Hadji Wasit dan Tubagus Hadji Ismail (1888).
 
Rentetan kecamuk perang itu meninggalkan warisan kerugian materil dan personil serdadu yang sangat besar bagi Belanda, sekaligus menyisakan tak sedikit kekhawatiran yang kemudian secara perlahan memaksa Belanda menerapkan strategi baru kolinialisasi kaum pribumi yang dikenal dengan istilah Politik Etis. Era ini ditandai oleh hadirnya misionaris ulung bernama Christiaan Snouck Hurgronje, seorang dan satu-satunya orang –dalam sebuah tesis Alfian-- yang bertanggungjawab sebagai arsitek Kebijakan Politik Islam.
 
Kebijakan demikian itu, sengaja diberlakukan Belanda untuk menampilkan ”dua wajah” baru kolonialisasi, dan pada saat yang sama memerangi Islam di Indonesia dengan cara-cara yang tampak etis. Yaitu, menguatkan gelombang westernisasi pendidikan dan budaya di lapisan elite dan terpelajar, sedangkan di lapisan ”kedap perubahan” yang dibentengi ulama tradisionalis, Belanda menggairahkan kembali tradisi Hindu-Islam yang sudah berumur satu abad, dimana hal itu berakibat langsung serta sekaligus memicu maraknya praktik takhayul dan bid’ah (sebagai bentuk penyimpangan agama) di tangah-tengah kehidupan umat Islam Indonesia.
 
Meskipun Belanda menuai hasil cukup gemilang dari proses awal kebijakan Politik Etis, namun hasil pahit yang sebelumnya tidak pernah diharapkan dari ekses proses kebijakan itu selanjutnya adalah lahirnya benih-benih nasionalisme Indonesia meodern. Benih-benih nasionalisme modern (perlawanan melelaui pintu perdagangan dan pendidikan) itu sudah terasa secara diam-diam melalui surat-surat Kartini dari Jepara kepada Stella Zeehandelaar di Belanda pada kurun 1899-1903, sampai kemudian gerakan nasionalisme versus Kolonialisme itu berlanjut cukup terbuka sejak Budi Utomo berdiri 1908 dan memulai sekolah Kweekschool di Jetis Yogyakarta.
 
Sungguh pun tak dapat dipungkiri, kebijakan liberal di sektor ekonomi yang diberlakukan secara formal sejak tahun 1870, telah memberi kesempatan yang demikian luas tidak hanya kepada pemerintah kolonial, melainkan juga kepada pihak asing lainnya untuk melakukan esksploitasi tanpa batas terhadap sumber-sumber ekonomi di belahan-belahan bumi Indonesia. Perkebunan dan pertambangan milik pemerintah maupun perusahaan swasta asing bermunculan dan merambah cepat dari Sabang sampai Merauke. Realitas ini berbeda dengan masa sebelumnya, dimana eks­ploitasi hanya terkonsentrasi di sepanjang Pulau Jawa.
 
Sejalan dengan itu, merebaknya aktivitas berdasarkan sistem pasar dan penggunaan uang sebagai standar transaksi, dengan sendirinya menimbulkan komer­sialisasi dan monetisasi dalam kehidupan ekonomi masyarakat secara umum. Perluasan infrastruktur dan kesempatan ekonomi baru itu tentu saja mempunyai implikasi positif terhadap ekonomi kaum pribumi, namun pada saat yang sama, tekanan ekonomis terhadap bumiputra juga semakin kuat sebagai akibat dari kenaikan biaya hidup, penarikan pajak tunai yang kian beragam, nilai riil pendapatan yang rendah, maupun karena petani demikian teralienasi dari tanah sebagai faktor produksi utama sehingga tingkat hidup mayoritas masyarakat semakin rendah.
 
Ada dual-economic system (dalam kajian Boeke) yang akhirnya berlaku dalam perekonomian Indonesia di masa kolonial, bahwa di satu sisi terdapat sebagian kecil kelompok sosial (terutama para kapitalis Eropa) yang melakukan aktivitas ekonomi secara kapitalis dan integral dengan pasar global, sementara di sisi lain terdapat sebagian besar kelompok sosial (mayoritas pribumi) yang hidup dalam subsistence economy. Yaitu, hidup secara pas-pasan hanya untuk kebutuhan kese­­harian tanpa sentuhan pendidikan yang memadai, sehingga terpaksa harus hidup bodoh dan terbelakang.
Tak terbantah, dominasi kalangan Eropa dan elit feodal pribumi dalam dunia pendidikan menyebabkan rakyat yang mayoritas muslim tak cukup terakomodasi dalam sistem pendidikan modern, sementara kebekuan sistem pendidikan tradisional (pesantren) semakin meninggalkan ketidakberdayaan di pusaran arus sosial yang semakin jauh bergerak cepat ke arah modernisasi. Lebih menyedihkan, kesadaran sebagai bangsa terjajah tidak banyak muncul di kalangan masyarakat akibat pembodohan sistemik yang dilakukan pemerintah kolonial. Elit feodal pribumi, bahkan, tidak banyak tergugah dan tercerahkan.
 
Di tengah kemuraman mayoritas kaum pribumi itu, secara tak terduga muncullah sekelompok kecil masyarakat pribumi yang perlahan bergerak sebagai pengusaha industri dan pedagang yang kuat. Katakanlah mereka misalnya pengusaha industri batik, rokok, kerajinan, pedagang perantara, dan pedagang keliling di daerah-daerah seperti Peka­longan, Yogyakarta, Surakarta, Kudus, Pariaman, Palembang, dan Banjarmasin. Kelompok ini adalah kelas menengah pribumi dan merupakan sebagian kecil dari wiraswastawan pribumi yang mampu bersaing pada tingkat lokal dengan para pengusaha dan pedagang Eropa, Cina, Arab, dan India yang lebih dulu mendominasi sektor-sektor ekonomi. Sebagian besar kelas menengah pengusaha dan pedagang pribumi ini memiliki latar belakang agama Islam dan ikatan sosial yang kuat, satu hal yang sebenar­nya paradoks dengan mayoritas pribumi yang umumnya Muslim.
 
Di Jawa, misalnya, mereka tinggal di kawasan tertentu seperti daerah yang dikenal sebagai Kauman atau Sudagaran. Daerah ini kebetulan dekat dengan pusat perdagangan, dan karenanya sebagian besar warganya berdagang atau menjadi pengusaha. Kondisi ekonomi mereka cukup mapan dan memberi mereka kesempatan untuk bergaul secara lebih kosmopolit, baik melalui ibadah haji ke Mekah, mengirimkan anak-anak mereka ke berbagai pesantren atau lembaga pendidikan lain di Indonesia maupun di luar negeri (seperti Saudi, Mesir, dan Eropa). Dengan demikian, interaksi mereka dengan masyarakat dan bangsa lebih luas berlangsung secara reguler dan berkesinambungan. Hal itu berlangsung, tidak hanya dalam konteks ekonomi dan pendidikan, melainkan juga dalam aspek sosial, kultural, dan politik. Interaksi mereka terutama dengan masyarakat Muslim dunia (Timur Tengah), termasuk dengan warga Indonesia yang sudah lama bermukim di Mekkah, membuka kesempatan masuknya unsur-unsur baru ke dalam masyarakat Muslim di Indonesia.
 
Kyai Haji Ahmad Dahlan, satu di antara masyarakat kelas menengah pribumi itu. Meskipun sosoknya, barangkali hanyal berupa ”noktah kecil” dalam kancah sejarah Indonesia yang menjalani hidup sekadar berdagang batik dan menjadi Khatib Amin di Masjid Agung Kasultanan Ngayogyakarta. Namun ternyata, kehadiran dan kiprah Kyai Haji Ahmad Dahlan tidak hanya setampak noktah kecil itu, melainkan hadir dengan gagasan besar yang mencerahkan di tengah kemuraman nasib bangsa yang masih meringkuk dalam belenggu kolonialisme.
 
Lewat kosmopolitanisme pergaulannya di jalur perdagangan, perjalanan haji dan studinya di Makkah, Kyai Haji Ahmad Dahlan lantas kerap terlibat dalam renungan-renungan serius, sampai akhirnya berpikir keras untuk mengambil jalan baru perubahan sosial demi tumbuh dan berkembangnya Islam berkemajuan: sebuah reaksi segar untuk mengatasi keterbelakangan kaum pribumi, serta pembodohan dan pemiskinan akibat kolonialisasi yang terus berlangsung secara sistemik. Pikiran keras dan renungan serius itulah yang melahirkan gagasan-gagasan besar, sampai akhirnya memicu kelahiran Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912.

Sejarah Berdirinya Muhammadiyah (-1-)

Pendidikan barat yang diperkenalkan kepada penduduk pribumi sejak paruh kedua abad XIX sebagai upaya penguasa kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja, misalnya, sampai akhir abad XIX pada satu sisi mampu menimbulkan restratifikasi masyarakat melalui mobilitas sosial kelompok intelektual, priyayi, dan profesional. Pada sisi lain, hal ini menimbulkan sikap antipati terhadap pendidikan Barat itu sendiri, yang diidentifikasi sebagai produk kolonial sekaligus produk orang kafir.
 
Sememara itu, adanya pengenalan agama Kristen dan perluasan kristenisasi yang terjadi bersamaan dengan perluasan kekuasaan kolonial ke dalam masyarakat pribumi yang telah terlebih dahulu terpengaruh oleh agama Islam, mengaburkan identitas politik yang melekat pada penguasa kolonial dan identitas sosial -keagamaan pada usaha kristenisasi di mata masyarakat umum.
 
Bagi sebagian besar penduduk pribumi, tekanan politis, ekonomis, sosial, maupun kultural yang dialami oleh masyarakat secara umum sebagai sesuatu yang identik dengan kemunculan orang Islam dan kekuasaan kolonial yang menjadi penyebab kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan dari agama Kristen itu sendiri. Hal ini semakin diperburuk oleh struktur yuridis formal masyarakat kolonial, yang secara tegas membedakan kelompok masyarakat berdasarkan suku bangsa. Dalam stratifikasi masyarakat kolonial; penduduk pribumi menempati posisi yang paling rendah, sedangkan lapisan atas diduduki orang Eropa, kemudian orang Timur Asing, seperti: orang Cina, Jepang, Arab, dan India.
 
Tidak mengherankan jika kebijakan pemerintah kolonial ini tetap dianggap sebagai upaya untuk menempatkan orang Islam pada posisi sosial yang paling rendah walaupun dalam lapisan sosial yang lebih tinggi terdapat juga orang Arab yang beragama Islam. Di samping itu, akhir abad XIX juga ditandai oleh terjadinya proses peng-urbanan yang cepat sebagai akibat dari perkemhangan ekonomi, politik, dan sosial.
 
Kota-kota baru yang memiliki ciri masing-masing sesuai dengan faktor pendukungnya muncul di banyak wilayah. Perluasan komunikasi dan ransportasi mempermudah mobilitas penduduk. Sementara itu pembukaan suatu wilayah sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, industri, dan perdagangan telah menarik banyak orang untuk datang ke tempat tersebut. Sementara itu pula, tekanan ekonomi, politik, maupun sosial yang terjadi di daerah pedesaan telah mendorong mereka datang ke kota-kota tersebut.
 
Memasuki awal abad XX sebagian besar kondisi yang telah terbentuk sepanjang abad XIX terus berlangsung. Dalam konteks ekonomi, perluasan aktivitas ekonomi sebagai dampak perluasan penanaman modal swasta asing maupun perluasan pertanian rakyat belum mampu menimbulkan perubahan ekonomi secara struktural sehingga kondisi hidup sebagian besar penduduk masih tetap rendah. Di beberapa tempat penduduk pribumi memang berhasil mengembangkan pertanian tanaman ekspor dlan mendapat keuntungan yang besar, akan tetapi ekonomi mereka masih sangat labil terhadap perubahan pasar.
 
Sementara itu perluasan aktivitas ekonomi menimbulkan persaingan yang semakin besar sehingga para pengusaha industri pribumi harus bersaing dengan produk impor yang lebih berkualitas dan lebih murah di pasar lokal, sedangkan para peclagang pribumi juga harus bersaing ketat dengan pedagang asing yang terus mendominasi perdagangan lokal, regional, maupun internasional. Dalam perkembangan selanjutnya persaingan ini di beberapa tempat tidak lagi hanya terbatas pada masalah ekonomi, melainkan juga telah berkembang menjadi persoalan sosial, kultural, ataupun politik. Walaupun dalam bidang politik terjadi pergeseran dari kekuasan administratif yang tersentralisasi ke arah desentralisasi pada tingka t lokal, kontrol yang ketat pejabat Belanda terhadap pejabat pribumi masih tetap berlangsung.
 
Sementara itu, kebijakan Politik Balas Budi atau Politik Etis yang difokuskan pada bidang edukasi, irigasi, dan kolonisasi yang dilaksanakan sejak dekade pertama abad XX, telah memberikan kesempatan yang lebih luas kepada penduduk pribumi mengikuti pendidikan Barat dibandingkan dengan masa sebelumnya melalui pembentukan beberapa lembaga pendidikan khusus bagi penduduk pribumi sampai tingkat desa. Akan tetapi, kesempatan ini tetap saja masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pribumi secara keseluruhan.
 
Kesempatan itu masih tetap diprioritaskan bagi kelompok elit penduduk pribumi, atau kesempatan yang ada hanya terbuka untuk pendidikan rendah, sedangkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan menengah dan tinggi masih sangat terbatas. Seperti pada masa sebelumnya, kondisi seperti ini terbentuk selain disebabkan oleh kebijakan pemerintah kolonial, juga dilatarbelakangi sikap antipati dari kelompok Islam, yang menjadi pendukung utama masyarakat pribumi terhadap pendidikan Barat itu sendiri.
 
Secara umum mereka lebih suka mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren, atau hanya sekedar ke lembaga pendidikan informal lain yang mengajarkan pengetahuan dasar agama Islam. Akan tetapi, sebenarnya ada dualisme cara memandang pendidikan Barat ini. Di samping dianggap sebagai perwujudan dari pengaruh Barat atau Kristen terhadap lingkungan sosial dan budaya lokal maupun Islam, pendidikan Barat juga dilihat secara objektif sebagai faktor penting untuk mendinamisasi masyarakat pribumi yang mayoritas beragama Islam.
 
Pendidikan Barat yang telah diperkenalkan kepada penduduk pribumi secara terbatas ini ternyata telah menciptakan kelompok intelektual dan profesional yang mampu melakukan perubahan-perubahan maupun memunculkan ide-ide baru di dalam masyarakat maupun sikap terhadap kekuasaan kolonial. Perubahan dan pencetusan ide-ide baru itu pada masa awal hanya terbatas pada bidang sosial, kultural, dan ekonomi, akan tetapi kemudian mencakup juga permasalahan politik. Walaupun feodalisme dalam sikap maupun struktur yang lebih makro di dalam masyarakat, khususnya di Jawa masih tetap berlangsung, pembentukan "organisasi modern" merupakan salah satu realisasi yang penting dari upaya perubahan dengan ide-ide baru tersebut.
 
Pada tahun 1908 organisasi Budi Utomo didirikan oleh para mahasiswa sekolah kedokteran di Jakarta. Walaupun dasar, tujuan, dan aktivitas Budi Utomo sebagai suatu organisasi masih terikat pada unsur-unsur primordial dan terbatas, keberadaan Budi Utomo secara langsung maupun tidak berpengaruh terhadap bentuk baru dari perjuangan kebangsaan melawan kondisi yang diciptakan oleh kolonialisme Belanda. Berbagai organisasi baru kemudian didirikan, dan perjuangan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial yang dulu terkosentrasi di kawasan pedesaan mulai beralih terpusat di daerah perkotaan.
 
Dunia Islam dan Masyarakat Muslim Indonesia Secara makro perkembangan dunia Islam pada akhir abad XIX dan awal abad XX ditandai oleh usaha untuk melawan dominasi Barat setelah sebagian besar negara yang penduduknya beragama Islam secara politik, sosial, ekonomi, maupun budaya telah kehilangan kemerdekaan dan berada di bawah kekuasaan kolonialisme dan imprialisme Barat sejak beberapa abad sebelumnya. Dalam masyarakat Muslim sendiri muncul usaha untuk mengatasi krisis internal dalam proses sosialisasi ajaran Islam, akidah, maupun pemikiran pada sebagian besar masyarakat, baik yang disebabkan oleh dominasi kolonialisme dan imperialisme Barat, maupun sebab-sebab lain yang ada dalam masyarakat Muslim itu sendiri.
 
Dalam kehidupan beragama ini terjadi kemerosotan ruhul Ishmi, jika dilihat dari ajaran Islam yang bersumber pada Quran dan Sunnah Rasulullah. Pengamalan ajaran Islam bercampur dengan bid'ah, khurafat, dan syi'ah. Di samping itu, pemikiran umat Islam juga terbelenggu oleh otoritas mazhab dan taqlid kepada para ulama sehingga ijtihad tidak dilakukan lagi. Dalam pengajaran agama Islam, secara umum Qur'an yang menjadi sumber ajaran hanya
diajarkan pada tingkat bacaan, sedangkan terjamahan dan tafsir hanya boleh dipelajari oleh orang-orang tertentu saja. Sementara itu, pertentangan yang bersumber pada masalah khilafiyah dan firu'iyah sering muncul dalam masyarakat Muslim, akibatnya muncul berbagai firqah dan pertentangan yang bersifat laten.
 
Di tengah-tengah kemerosotan itu, sejak pertengahan abad XIX muncul ide-ide pemurnian ajaran dan kesadaran politik di kalangan umat Islam melalui pemikiran dan aktivitas tokoh-tokoh seperti: Jamaludin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan para pendukung Muhammad bin Abdul Wahab. Jamaludin Al-Afgani banyak bergerak dalam bidang politik, yang diarahkan pada ide persaudaraan umat Islam sedunia dan gerakan perjuangan pembebasan tanah air umat Islam dari kolonialisme Barat.
 
Sementara itu, Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, berusaha memerangi kestatisan, syirik, bid'ah, khurafat, taqlid, dan membuka pintu ijtihad di kalangan umat Islam. Restrukturisasi lembaga pendidikan Islam dan mewujudkan ide-ide ke dalam berbagai penerbitan merupakan wujud usaha pemurnian dan pembaharuan yang dilakukan oleh dua orang ulama dari Mesir ini. Rasyid Ridha, misalnya, menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir, yang kemudian disebarkan dan dikenal secara luas di seluruh dunia Islam. Sementara itu, ide-ide pembaharuan yang dikembangkan oleh pendukung Muhammad bin Abdlul Wahab dalam gerakan Al Muwahhidin telah mendapat dukungan politis dari penguasa Arab Saudi sehingga gerakan yang dikenal oleh para orientalis sebagai Wahabiyah itu berkembang menjadi besar dan kuat.
 
Seperti yang terjadi di dalam dunia Islam secara umum, Islam di Indonesia pada abad XIX juga mengalami krisis kemurnian ajaran, kestatisan pemikiran maupun aktivitas, dan pertentangan internal. Perjalanan historis penyebaran agama Islam di Indonesia sejak masa awal melalui proses akulturasi dan sinkretisme, pada satu sisi telah berhasil meningkatkan kuantitas umat Islam. Akan tetapi secara kualitas muncul kristalisasi ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.

Refleksi Perjuangan Satu Abad Muhammadiyah

       Gagasan Muhammadiyah bermula dari sebuah perenungan, dan berlanjut dalam pergumulan pemikiran yang cukup panjang, semata-mata untuk melahirkan sebuah gerakan dakwah dan tajdid yang mampu mengakomodasi desakan kebangkitan di era gelap kolonialisme. Tentu, tak sedikit hadangan dan tantangan yang membelintang harus dilalui sebelum kemudian Sang Penggagas, Kyai Haji Ahmad Dahlan, bisa mengajak sejumlah warga Kauman secara resmi mendirikan Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912. Tersebutlah sejumlah nama-nama yang menyejarah dalam ”dokumen abadi” Muhammadiyah sebagai Hoofd Bestur (pengurus pusat) yang pertamakali diajukan pada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia. Yaitu, Mas Ketib Amin Hadji Ahmad Dahlan (Ketua), Mas Penghulu Abdullah Sirat (Sekretaris), Raden Ketib Tjandana Hadji Ahmad (Anggota), Hadji Abdul Rahman (Anggota), Raden Hadji Sarkawi (Anggota), Mas Gebajan Hadji Muhammad (Anggota), Raden Hadji Djailani (Anggota), Hadji Anis (Anggota), Mas Tjarik Hadji Muhammad Pakih (Anggota).
 
Seperti kutipan Dat het Register der Besluiten van den Gouverneur-General, No. 81, Muhammadiyah baru dinyatakan de jure dan sah bergerak pada tanggal 22 Agustus 1914 di Residensi Yogyakarta. Meskipun secara de fakto, ikhtiar Kyai Haji Ahmad Dahlan merintis perubahan tradisi beragama, serta keberaniannya mengambil langkah mengembangkan pola pendidikan baru dalam ranah kaum santri yang masih lekat dengan feodalisme Islam --sekaligus memacu peran sosial jamaah yang tidak populis-- di Kauman kala itu, jauh sebelumnya telah berlangsung. Dan, geliat ikhtiar itu menandai denyut nadi gerakan Muhammadiyah. Dengan demikian, dapat dikata, ruh gerakan Muhammadiyah di tengah-tengah kehidupan umat Islam sudah ditiupkan jauh hari sebelum Raden Dwijosewoyo dari Budi Utomo naik mimbar dan membacakan besluit berdirinya Muhammadiyah.Dimana hari itu juga, Rechtspersoonlijkheid Muhammadiyah diumumkan di Loodge Gebouw Malioboro.
 
Panta rei, kehadiran Muhammadiyah di kancah pergerakan kebangsaan dan khazanah keagamaan tak cukup sekadar untuk dicatat. Namun juga, terbukti mampu membuka gerbang baru bagi Islam keindonesiaan dan ikut serta menentukan merah-biru perjalanan sejarah bangsa Indonesia sendiri. Sebagai salah satu organisasi masyarakat yang kini telah berhasil mengukuhkan posisinya menjadi organisasi Islam modern terbesar di dunia, Muhammadiyah tidak hanya teruji oleh sejarah, tetapi juga turut menguji sejarah. Bahwa sejarah bangsa Indonesia memang membutuhkan kehadiran sebuah gerakan seperti Muhammadiyah yang bergiat secara intens dan konsisten dalam ranah dakwah, pemberdayaan masyarakat, pengentasan kemiskinan dan kebodohan.
 
Rentang kiprah Muhammadiyah yang demikian panjang sejak kali pertama digerakkan, hingga mejelang seratus tahun usianya, telah banyak mewarnai sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Bahkan Muhammadiyah terbukti mampu menghasilkan sosok tokoh dan pemimpin besar yang turut andil dalam memastikan arah yang dituju oleh dan untuk masa depan bangsa Indonesia. Para tokoh dan pemimpin Muhammadiyah itulah, yang secara sukarela membaktikan hidupnya mengemudikan dan mengawal Muhammadiyah agar tetap konsisten berpijak pada khittah perjuangannya. Sehingga dapat dipastikan kehadiran Muhammadiyah bukan hanya sekadar rutinitas sejarah. Melainkan juga: jawaban atas dialektika dan tuntutan zaman yang terus bergerak.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Guruku

Guru yang baik bukan hanya yang bersertifikasi. Guru yang baik bukan hanya mereka yang suka bermake up ria. Guru yang baik bukan h...