Senin, 25 Juli 2011

Antara Budaya barat Dan timur

Kata ‘globalisasi’ makin lama makin menjadi sajian sehari-hari melalui berbagai pemyataan publik dan liputan media massa; dan kalau semuanya itu kita perhatikan secara saksama, maka akan ternyata betapa kata ‘globalisasi’ itu cenderung dilontarkan tanpa terlalu dihiraukan apa maknanya. Pernyataan seperti “dalam era globalisasi dewasa mi” berarti bahwa kita telah berada dalam era globalisasi; lain lagi halnya kandungan pernyataan “menjelang era globalisasi” yang berarti kita belum berada dalam era tersebut. Kelatahan dalam penggunaan kata ‘globalisasi’ sedemikian itu akhimya mengesankan kesembarangan arti kata globalisasi, dan makin mengaburkan implikasi dan komplikasi makna yang terkandung di dalamnya.

Globalisasi pada hakikatnya adalah proses yang ditimbulkan oleh sesuatu kegiatan atau prakarsa yang dampaknya bekelanjutan melampaui batas­batas kebangsaan (nation-hood) dan kenegaraan (state-hood); dan mengingat bahwa jagad kemanusiaan ditandai oleh pluralisme budaya, maka globalisasi sebagai proses juga menggejala sebagai peristiwa yang melanda dunia secara lintas-budaya (trans-cultural). Dalam gerak lintas-budaya mi terjadi berbagai pertemuan antar-budaya (cultural encounters) yang sekaligus mewujudkan proses saling-pengaruh antar-budaya, dengan kemungkinan satu fihak lebih besar pengaruhnya ketimbang fihak lainnya. Pertemuan antar-budaya memang menggej ala sebagai keterbukaan (exposure) fihak yang satu terhadap lainnya; namun pengaruh-mempengaruhi dalarn pertemuan antar-budaya itu tidak selalu berlangsung sebagai proses dua-arah atau timbal-balik yang berimbang, melainkan bolehjadi juga terjadi sebagai proses imposisi budaya yang satu terhadap lainnya; yaitu, terpaan budaya yang satu berpengaruh dominan terhadap budaya lainnya.

Apakah yang kita maksudkan dengan ‘budaya’ atau ‘kebudayaan’ itu? Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan mi banyak cara dapat ditempuh. Kita dapat mencari jawaban berdasarkan etimologi; cara mi mungkin menarik secara akademik namun mungkin terlalu steril untuk diturunkan sebagai medium analisis dalam terapan empirikal. Cara lain ialah memperbandingkan berbagai definisi yang dapat dipandang terkemuka dalam literatur; cara mi akan membutuhkan uraian panjang lebar karena biasanya perlu diperjelas dengan tafsiran konseptual dan kontekstual. Mungkin juga kita lakukan pendekatan komparatif antara suatu teori dengan lainnya; cara mi jelas dapat memperkaya wawasan kita tentang kebudayaan, tapi keunggulan suatu teori berkenaan dengan sesuatu gej ala budaya tidak selalu bearti keunggulan teori itu

secara menyeluruh; tiap teori bisa saja memiliki keunggulan dalam satu dan lain hal, sehingga konvergensi antar-teori mungkin saja digunakan dalam usaha memahami berbagai manifestasi budaya.

Kalau kita sarikan muatan berbagai definisi yang terkemuka, maka tidak terlalu keliru kiranya kalau kita mengartikan kebudayaan sebagai sehimpunan nilai-nilai yang oleh masyarakat pendukungnya dijadikan acuan bagi perilaku warganya. Nilai-nilai itu juga berpengaruh sebagai kerangka untuk membentuk pandangan hidup yang kemudian relatif menetap dan tampil melalui pilihan warga budaya itu untuk menentukan sikapnya terhadap berbagai gejala dan peristiwa kehidupan. Nilai-nilai itu pada sendirinya barn merupakan acuan dasar yang keberlakuannya disadarkan melalui ikhtiar pendidikan sejak dini, seperti misalnya usaha pengenalan dan penyadaran tentang apa yang ‘baik’, ‘buruk’, ‘dosa’, ‘indah’, dsb dalam tindak-tanduk seseorang. Sebagai sumber acuan, persepi terhadap nilai-nilai itu masih besifat umum; batas antara apa yang dinilai sebagai kebajikan (good) atau kejahatan (evil) berlaku dalam garis besar yang memisahkan satu dan lainnya; belum lagi antara keduanya diperbedakan dalam perbandingan ‘seberapa balk’ atau ‘seberapa buruk’ dipandang dan tolokukur tertentu; tolokukur itu baru menjelma melalui norma-norma sebagai pengatur kepantasan perllaku. Norma (nomos) adalah tolokukur yang memungkinkan terjadinya konformisme perilaku dalam sesuatu masyarakat, dan dengan demikian tersedia pula ukuran untuk non­konformisme. Adanya tolokukur normatif mi menjadi dasar bagm berkembangnya peradaban (civilization) sebagai bagian dan dinamika budaya tertentu.

Dan uraian di atas mi dapat disimpulkan, bahwa kebudayaan adalah kerangka acuan perilaku bagi masyarakat pendukungnya berupa nilai-nilai (kebenaran, keindahan, keadilan, kemanusiaan, kebajikan, dsb), sedangkan peradaban adalah penjabaran nilai-nilai tersebut melalui diwujudkannya norma-norma yang selanjutnya dijadikan tolokukur bagi kepantasan perilaku warga masyarakat ybs. Nilai keadilan diwujudkan melalui hukum dan sistem peradilan; nilai keindahan dijabarkan melalui berbagai norma artistik, nilai kesusllaan dinyatakan melalui berbagai tatakrama, nilai religius diungkapkan melalui berbagai norma agama, dan begitu seterusnya. Singkatnya, penjabaran nilai kebudayaan menjadi norma peradaban dapat dipandang sebagai pengalihan dan sesuatu yang transenden menjadi sesuatu yang immanen. Terjalinnya kesadaran transendensi dan immanensi inilah yang menjadikan dinamika sejarah kemanusiaan sebagai kaleidoskop perkembangan kebudayaan dan peradaban.

Pasang-surutnya kebudayaan sepanjang sejarah kemanusiaan nyata sekali ditentukan oleh sejaubmana kebudayaan itu masih berlanjut sebagai kerangka

acuan untuk dijabarkan melalui sesuatu tatanan normatif. Misalnya, kebudayaan Pharaonic yang benlaku dalam masyarakat Mesir kuno surut seiring dengan klan memudarnya kebudayaan itu sebagai sumber acuan untuk penjabaran norma-norma perilaku bagi masyarakat Mesir sekarang. Tapi juga dalam era kontemporer mi suatu kebudayaan sebagai sistem nilai dapat dengan suatu rekayasa didesak oleh sistem nilai barn, sehingga kebudayaan yang lama kehilangan dayanya sebagai acuan untuk menjabarkan norma-norma perllaku. Perhatikan misalnya “Revolusi Kebudayaan” yang secara berencana dilancarkan di Republik Rakyat Cina pada pertengahan tahun 6Oan; perubahan serupa pun teijadi tatkala Partai Komunis Rusia berhasil menggulingkan kekaisaran di Rusia dan memperkenalkan nilai-nllai barn sebagai acuan bagi norma perllaku barn yang ideal bagi suatu masyarakat komunis. Perhatikan pula perubahan yang terjadi di Turki, ketika Kemal Attaturk melancarkan gerakan modernisasi (yang diartikan sebagai ‘westemisasi’). Kesemuanya mi sekaligus menunjukkan bahwa kebudayaan adalah suatu pengejawantahan yang hidup selama ada masyarakat pendukungnya; hal mi berlaku balk bagi kebudayaan yang surut oleh perubahan zaman maupun yang kehadirannya dipaksakan untuk mendesak kebudayaan lama.

Dalam sejarah kemanusiaan banyak contoh yang menunjukkan, bahwa timbul-tenggelamnya kebudayaan sangat dipengaruhi oleh apa yang tenjadi dalam pertemuan antarbudaya, yaitu sejauh mana satu di antara fihak yang saling bertemu kurang atau tidak lagi memiliki ketahanan budaya (cultural resilience). Kebudayaan adalah suatu daya yang sekaligus tersimpan (latent) dan nyata (actual). Demikianlah kebudayaan mengandung dua daya sekaligus, yaitu sebagai daya yang cenderung melestanikan dan daya yang cenderung berkembang atas kemekarannya sendiri. Antara kedua daya inilah tiap masyarakat pendukung kebudayaan tertentu berada; satu daya mempertahankannya agar lestani dan daya lainnya menariknya untuk maju; satu daya dengan kecenderungan preservatif dan satunya lagi dengan kecenderungan progresif. Dalam kondisi demikian itulah pertemuan antar­budaya sangat berpengaruh atas perimbangan antara kedua daya tersebut. Sampai batas tertentu dan saling-pengaruh yang terjadi itu dapat terpantul seberapa tinggi derajat kesadaran dan tingkat ketahanan budaya masing-masing fihak yang saling bertemu. Tangguh atau rapuhnya ketahanan budaya biasanya dilatani oleh menurunnya kesadaran masyarakat yang bersangkutan terhadap kebudayaannya sebagai pengukuh jatidirinya. Makin rendah derajat ketahanan budaya masyarakat pendukungnya, makin kuat pula budaya asing yang menerpanya berpengaruh dominan terhadap masyarakat itu.

Proses globalisasi yang diakibatkan oleh berbagai prakarsa dan kegiatan pada skala internasional sebagaimana menggej ala dewasa mi pun penlu kita cermati sejauhmana siginifikan pengaruhnya dalam pertemuan antar-budaya. Dalam kaitan mi pertemuan antar-budayajangan terutama digambarkan sebagai pertemuan antara dua fihak belaka, melainkan terjadi dengan ketenlibatan sejumlah fihak secara segera (instantaneous) serta serempak (simultaneous). Kesanggupan sesuatu satuan budaya untuk mempertahankan kesejatiannya dalam pertemuan antar-budaya yang demikian majemuknya itu sangat ditentukan oleh tinggi-rendahnya derajat kesadaran budaya dan tanguh­rapuhnya tingkat ketahanan budaya masyarakat pendukungnya. Budaya asing yang berpengarnh dominan terhadap satuan budaya asli bisa membangkitkan kesan sebagai ‘model’ untuk ditiru. Kecenderungan meniru itu dalam kelanjutannya bisa terpantul melalui berkembangnya gayahidup (ljfestyle) barn yang dianggap superior dibandingkan dengan gayahidup lama. Berkembangnya gayaliidup baru itu dapat menimbulkan kondisi sosial yang ditandai oleh heteronomi, yaitu berlakunya herbagai norma acuan penilaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Perubahan gayahidup yang ditiru dan budaya asing bisa berkelanjutan dengan timbulnya gejala keterasingan dan kebudayaan sendiri (cultural alienation).

Karena perhatian akan kita pusatkan pada persoalan pertemuan antar­budaya dalam era globalisasi, maka ada baiknya kita bahas dahulu hal-ihwal yang berkenaan dengan globalisasi sebagai proses maupun globalisme sebagai carapandang yang dewasa mi cenderung dianut dalam tata-pergaulan intemasional. Sebagai proses, globalisasi benlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antarbangsa, yaitu dimensi ruang (space) dan waktu (time). Ruang (d.h.i: jarak) makin diperdekat dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala mondial. Seantero jagad seolah-olah tertangkap dalam satu janingan besar tanpa adanya suatu pusat tunggal. Kendatipun dalam periode Perang Dingin kondisi bipolar seakan-akan membelah-dua dunia mi dengan pengendalian dan dua pusat kekuatan dunia yang saling bertentangan, usainya Perang Dingin tidak menjadikan dunia kita monosentnik. Justru plunisentrisme dan multipolaritas menjadi cmi dunia menjelang akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-2 1. Tidak ada kekuatan tunggal yang mutlak dan sanggup mengabaikan -apalagi mengungguli- kondisi global yang plurisentnik dan multipolar dalam era kontemporer. Dalam kondisi demikian itulah globalisme menjadi carapandang dalam interaksi antarbangsa, dan hal ml pada gllirannya mendorong berlangsungnya proses globalisasi yang terus berkembang atas kemekarannya sendini.

Dalam perkembangan sedemikian itu dirasakan makin dipenlukannya suatu tatanan dunia baru yang perwujudannya memperhatikan plurisentrisme

dan multipolanitas sebagai kenyataan global masakini. Tatanan itu tentu menuntut dirancangnya berbagai sistem dan pelembagaan yang hams diwujudkan sebagai konsekuensinya. Rancangan demikian itu tentunya hams dapat ditenima oleh majonitas eksponen yang ambilbagian dalam janingan global yang plunisentrik dan multipolar. Ditenimanya suatu tatanan global barn mestinya dapat diandalkan pada tergalangnya konsensus maksimal di antara segenap eksponen yang berperan dalam janingan itu. Dewasa mi sistem dan pelembagaan termaksud tenutama nyata perkembangannya dalam bidang ekonomi dan perdagangan internasional; globalisasi dalam bidang ml sudah dijangkau oleh sistem dan pelembagaan yang makin dijadikan acuan dalam hubungan internasional. Dalam bidang mi tampaknya tiada altematif lain bagi kita kecuali turut berperan di dalamnya, suka-tak-suka; sedang kesiapan untuk ambilbagian dalam tatanan barn itu merupakan imperatif yang sukar dielakkan, mau-tak-mau.

Dalam naskah mi perhatian kita pusatkan pada penjelmaan globalisme dalam bidang yang jelas berdampak terhadap wawasan budaya kita, yaitu bidang informasi dan komunikasi yang sangat tertunjang oleh pesatnya laju perkembangan teknologi yang semakin canggih. Dalam bidang inilah terjadi pemadatan dimensi rnang dan waktu (yang disebut Harvey ‘time-space compression’); jarak makin diperdekat dan waktu makin dipersingkat. Dalam bidang informasi, maka terjadilah banjir deras informasi (information glut) yang menghujani kita dan nyanis tak lagi terkendali; dan sebagaimana terjadi dengan setiap banj in, maka dalam hal mi pun terbawa limbah yang samasekali tidak berguna; maka betapa pun paradoksal kedengarannya, banjir informasi melalui sistem dan pelembagaan yang didukung oleh teknologi canggih tidak dengan sendirinya mempenkaya wawasan kita, melainkan bisa juga mencemani kita secara mental. Maka tidaklah mengherankan kalau banjir informasi itu akhirya juga bisa benpengaruh terhadap carapandang maupun gayahidup kita; dan inilah awal dan suatu proses yang akhimya bisa bermuara pada pernbahan sikap mental dan kultural.

Teknologi informasi dan komunikasi dalam era globalisasi mi merupakan pendukung utama bagi tenselenggaranya pertemuan antarbudaya. Dengan dukungan teknologi modem infonmasi dalam berbagai bentuk dan untuk benbagai kepentingan dapat disebarluaskan begitu rnpa, sehingga dengan mudah dapat mempengaruhi carapandang dan gayahidup kita. Kesegeraan dan keserampakan anus informasi yang dengan derasnya menerpa kita seolah-olah tidak membenikan kesempatan pada kita untuk menyerapnya dengan filter mental dan sikap knitis. Perlu dicatat, bahwa dalam pertemuan antar-budaya mengalirnya anus informasi itu tidak senantiasa terjadi secara dua-arah; dominasi cendernng terjadi dan fihak yang memiliki dukungan teknologi lebih

maju terhadap fihak yang lebih terbelakang. Makin canggih dukungan tersebut makin besar pula anus informasi dapat dialirkan dengan jangkauan dan dampak global. Kalau dewasa ml dianut asas ‘kebebasan arns informasi’ (free flow of information), maka yang sesungguhnya terjadi bukanlah ‘pertukanan informasi’ (exchange of information) berupa proses dua-arah yang cukup bermmbang, melainkan dominasi anus informasi dan fihak yang didukung oleh kesanggupan merentangkan sistem informasi dengan jangkauan global. Dengan jangkaun sedemikian itu, maka fmhak yang lebih unggul dalam menguasai teknologi informasi dan komunikasi niscaya lebih berkesanggupan untuk membiaskan pengaruhnya secara global.

Gej ala tersebut nyata berpengaruh atas terbentuknya sikap mental dan kultural pada fihak yang diterpa (expose) oleh fihak yang menerpanya (impose) dengan anus informasi. Maka tidak mustahil kemajuan masyarakat yang diterpa cenderung diukur secara memperbandingkan dengan hal-ihwal yang dipenkenalkafl melalui informasi dan fihak yang menerpa. Kecenderungan mi adakalanya dianggap sebagai bagian dan upaya ‘modemisasi’, dan ditenima dengan alasan ‘mengikuti kecenderungafl global’. Sikap yang naif mi antara lain juga ditandai oleh kecenderungan glonifikasi terhadap fihak yang diunggulkan sebagai sumber informasi global dan tampil sebagai penentu kecendeningafl (trend-setter) dalam pembentukan sikap mental dan kultural serta gaya hidup barn.

Tidak benlebihan kiranya kalau sistem dan pelembagaan informasi dan komunikasi global dianggap sebagai andalan yang efektif dalam dinamika lintas-budaya. Persoalannya ialah sejauhmana sistem dan pelembagaan itu juga benpenan secara plunisentnis. Tampaknya ada diskrepansi yang mencolok antara plunisentnisme sebagai kenyataan dunia barn dengan penguasaan sistem dan informasi dan komunikasi global yang nyanis monosentris (dalam anti berpusat di ranah budaya Barat). Sebagai konsekuensinya, maka dalam pertemuan antan­budaya global tenjadi dominasi pengaruh budaya Barat terhadap budaya Timur; polanisasi ‘Barat-Timur ‘mi adalah kelanjutan dan masa sejanah yang ditandai oleh ‘Barat’ sebagai pangkalan kekuatan kolonial dan ‘Timun’ sebagai sasanan kolonisasi. Walaupun ada alasan untuk menggunakaii polanisasi ‘Barat-Timur’ dalam kaitan dengan dikotomi ‘modern-tradisional’, namun dalam tinjauan yang lebih menyeluruh polanisasi tersebut merupakan simplifikasi yang sangat umum dan cenderung diasosiasikan dengan polanisasi ‘Eropa-Asia’ atau ‘Occident-Orient’, atau juga secara lebih umum ‘Barat-NonBarat’. Dalam polanisasi tersebut ‘Barat’ selalu digambarkan sebagai sumber pengaruh yang berdampak dominan tehadap ‘Timur’, apalagi dikaitkan dengan pengertian ‘modernisasi’ dan ‘industrialisasi’. Yang terjadi dalam pertemuan antan-budaya dalam polanisasi demikian itu bukanlah pertukanan pengaruh sebagai proses

dua-anah, melainkan lebih bernpa apa yang oleh Samuel Huntington dinyatakan sebagai “the unidirectional impact of one civlization on others” yang menggej ala melalui polarisasi “the West and the rest “.

Dalam penggolongan tersebut jelaslah bahwa ‘Barat’ bagaimanapun dipandang sebagai nanah budaya tersendini dalam pertemuan antan-budaya global; ‘Barat’ (d.h.i. Enopa) bukan sekedar sebagai pangkalan kekuatan penjelajahan dan penjajahan sebagaimana kenyataannya dalam bebenapa abad sebelum usainya abad ke-20, melainkan ‘Barat’ yang sudah diperluas hingga Amenika Utana, khususnya Amenika Senikat sebagai pusat persebaran informasi global. Maka tidak dapat disangkal betapa dominan peran dan penganuh pusat mi sebagai penyeban informasi global, dan sekaligus bisa mempenkenalkan sikap mental dan kultunal ‘kontemporer’. Dengan demikian pertemuan antar­budaya secara global bagaimanapun juga diungguli oleh satu pusat dengan kesiapan aktualisasi berbagai potensi yang tenkandung dalam sumbendayanya. Kemampuan inilah yang selanjutnya berdampak kuat dalam menumbuhkan carapandang dan gayahidup barn yang cendenung dmtemukan dan ditiru sebagai model. Perubahan gayahidup biasanya juga disertai dengan perubahan onientasi pada nilai-nilai budaya, dan bensama itu juga pernbahan pada norma-norma penilaku yang semula menjadi acuan konformisme.

Maka dapat digambarkan bahwa salah satu konsekuensi dan terjadinya pentemuan antar-budaya ialah kemungkinan tenjadinya perubahan onientasi pada nilai-nilai yang selanjutnya berpengaruh pada terjadinya perubahan norma-norma peradaban sebagai tolokukun penilaku warga masyanakat sebagai satuan budaya. Perubahan onientasi nilai yang benlanjut dengan penubahan norma penilaku itu bisa menjelma dalam wujud pergeseran (shft,), persengketaan (conflict), atau perbenturan (clash). Perubahan dalam wujud yang pertama biasanya tenjadi karena nelatif mudahnya adaptasi atau asimilasi antara nilai dan norma lama dengan yang barn dikenal; yang kedua mernpakan wujud yang paling sening menggejala dan biasanya memenlukan masa peralihan sebelum dihadapi dengan sikap positif (acceptance) atau negatif (rejection). Biasanya wujud yang kedua menunjukkan adanya ambivalensi dalam masyarakat ybs, sehingga ada sebagian warga masyanakat yang menenima perubahan yang terjadi pada onientasi nilai dan norma penilaku, tapi ada pula sebagian lainnya yang menolaknya. Dalam keadaan mi bisa terjadi juxtaposisi antara fihak yang menenima dan fihak yang menolak. Lain halnya dengan penubahan yang berwujud perbentunan; dalam hal mi mudah timbul berbagai derajat sikap penentangan (rejection), dan yang moderat hingga yang paling ekstnem.

Mungkin dalam mempelajani wujud yang ketiga tersebut itulah Huntington terdorong untuk menulis karyanya yang diramaikan orang “The

Clash of Civilization and the Remaking of World Order”. Sayang dalam karya tersebut dia tidak menganggap penlu untuk membuat perbedaan antara anti kata kebudayaan (culture) dan peradaban (civilization); kedua kata itu bahkan digunakan secara saling dipertukarkan (interchangeable). Kanena peradaban melekat pada sesuatu ranah budaya, maka sulitlah membayangkan akan benkembangnya apa yang disebut ‘universal civilizatiion’. Apalagi kalau universalisasi itu didasarkan pada sesuatu kebudayaan sebagai kerangka acuannya, maka jelas yang demikian itu bersandar pada anggapan yang usang bahwa perkembangan peradaban terjadi karena keberhasilan kebudayaan yang ‘superior’ mempengaruhi dan mengubah yang ‘inferior’. Asumsi demikianjelas dilatani praanggapan bahwa ‘the West = superior’ dan ‘the rest = inferior’. Pluralisme budaya sebagai pengejawantahan kemanusiaan tidak mungkin diperbandingkan pada skala superior-inferior, dan tidak ada alasan untuk mencanangkan perlunya dikembangkan satu kebudayaan atau peradaban dunia. Kita bisa berbicara tentang nilai-nilai universal, tanpa berarti benlakunya konsekuensi logis akan berkembang suatu kebudayaan tunggal dan peradaban universal. Nilai-nilai universal itu tiada lain adalah penjelmaan transendental dan keanekaan budaya sebagai cirikhas kemanusiaan sebagai satu umat.

Kenyataan bahwa pertemuan antar-budaya dalam era globalisasi dewasa mi cenderung diungguli oleh satu pusat yang sanggup menimbulkan dampak dominan terhadap kebudayaan lain tidak dengan sendininya akan menghasilkan suatu kebudayaan global dan peradaban universal. Dominasi pengaruh sefihak itu-andaikata pun terjadi-niscaya suatu saat akan disadani sebagai pemangkasan berangsur-angsur tenhadap kebudayaan yang diunggulinya. Meningkatnya kesadanan itu akhinnya akan membangkitkan penentangan dan fihak yang terlanda olehnya, karena dominasi penganuh itu lambat-laun niscaya dirasakan sebagai reduksi terhadap makna nilai-nilai budaya yang diunggulinya. Kerasnya penentangan itu sangat ditentukan oleh betapa kuatnya reduksi tersebut dihayati oleh satuan budaya yang menasa dilanda oleh penganuh budaya asing yang dominan itu. Penentangan itu biasanya tampil serentak bersama kesadaran dipenlukannya ikhtian untuk memulihkan onientasi pada nilai-nilai budaya sendini. Maka betapapun kuatnya sesuatu pusat pengaruh bisa mengungguli ranah budaya lainnya, globalisme budaya dan universalisme peradaban tidak mungkin tenwujud. Pluralisme kebudayaan dan peradaban akan tetap menjadi cinikhas kemanusiaan dan setiap pengingkaran terhadap cinikhas tersebut niscaya akan membangkitkan penentangan, apapun caranya dan bagaimanapun pegejawantahannya.

Demikianlah globalisme dalam manifestasinya yang ekstrem akhimya mungkin justrn membangkitkan kembali kesadanan kebudayaan sebagai pengukuh identitas dan integnitas kebersamaan dalam eksistensinya sebagai

masyarakat dan bangsa. Pertemuan antar-budaya dalam era globalisasi tidak mungkin berakhir dengan hapusnya pluralisme budaya sebagai cinikhas sepanjang sejarah kemanusiaan, betapapun keunggulan pengarnh dan sesuatu lingkungan kebudayaan tertentu menimpa lainnya. Sebab bagaimanapun juga, setiap kebudayaan yang hidup dan masih ada masyarakat pendukungnya pasti memiliki daya preservatif. Daya mi tentu akan bekerja manakala masyanakat tersebut menasakan terjadinya reduksi makna nilai-nilai budayanya sendini; bekerjanya daya mi sekaligus akan membenikan gambaran mengenai derajat kesadaran dan tingkat ketahanan budaya pada masyarakat atau bangsa ybs. Maka menghadapi benbagai peristiwa lintas-budaya dalam era globalisasi dewasa mi makin mendesak perlunya prakansa dan ikhtian yang ditujukan pada peningkatan derajat kesadaran dan tingkat ketahanan budaya bangsa.

Dan uraian di atas mi dapat disimpulkan, bahwa globalisme sebagai fenomena kontemporer mustahil akan meniadakan pluralisme kebudayaan dan peradaban. Sebaliknya, dalam perwujudannya yang ekstnem, globalisme justru dapat menjadi pembangkit nasionalisme yang kii~’~,,I~1ro~ oleh kesadaran sebagai satuan budaya yang khas. Dalam hubungan mi kiranya akan benlaku juga hukum pendulum, yaitu bahwa tanikan ke arah globalisme yang ekstnem niscaya akan menimbulkan gerak-balik ke arah berlawanan, bernpa neaksi yang benwujud nasionalisme (bahkan chauvinisme). Hal mi akan dapat kita saksikan melalui benbagai reaksi penentangan yang cenderung menggej ala sebagai akibat dominasi pengarnh budaya asing terhadap lainnya.

• ~&ii~L4A1~4ALfl~&LA

Tentu saja dalam pertemuan antar-budaya juga terjadi saling-menenima dan saling-membeni, sehingga dalam pertemuan antan-budaya mungkin terjadi pula reonientasi barn. Misalnya, dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan kegotongroyongan kiranya tidak mudah ditumbuhkan sikap individualistik dan komptetitif. Bayangkan betapa sulitnya untuk mengubah onientasi masyanakat Badui melalui perkenalan dengan nilai-nlai budaya asing, atau merubah kebudayaan yang berkembang di Tibet dengan mempenkenalkan masyarakat Tibet pada nilai-nilai budaya Banat yang individualistik dan matenialistik. Sebagaimana dibenitakan akhir-akhir mi banyak bangsa atau sukubangsa yang meratapi surntnya kebudayaan aslinya kanena diungguli oleh kebudayan asing. Sukubangsa Indian di Amenika kembali bernsaha untuk menghidupkan tradisinya yang mulai asing bagi kaum mudanya; masyarakat Chechnya menolak identifikasinya dengan kebangsaan maupun kebudayaan Rusia dan berhasnat untuk mengukuhkan jatidininya sebagai satuan budaya yang khas; masyarakat Basque di Spanyol pun ingin menegaskan identitasnya sebagai satuan budaya yang berbeda dengan kebangsaan dan kebudayaan Spanyol; perhatikan pula misalnya meningkatnya kesadaran masyarakat Quebec di Canada sebagai satuan kebangsaan Penancis dan kebudayaan

tersendini; begitu pula halnya dengan masyarakat Kurdi di Irak dan Tunki yang terus-menenus berusaha untuk memperoleh pengakuan bukan sekedar sebagai golongan etnik, melainkan sebagai satuan kebangsaan dengan kebudayaannya yang khas; demikian pula onang Skotlandia yang enggan diidentifikasikan dengan kebangsaan Inggenis; perbedaan bahasa di Belgia cenderung membelah identifikasi masyarakatnya menjadi dua sesuai dengan benlakunya dua bahasa di Belgia. Masih segar dalam ingatan kita tragedi yang menimpa rakyat Bosnia­Henzegowina dan Kosovo oleh gagasan gila bernpa ethnic cleansing yang dilancarkan golongan etnik Serbia untuk membensihkan wilayah itu dan golongan etnik lain, khususnya yang benagama Islam, a]. dengan pembantaian dan penguburan masal maupun perkosaan kaum wanitanya. Masih banyak contoh tindakan yang dapat digolongkan sebagai “crime against humanity” tenjadi di berbagai belahan dunia; sungguh suatu ironi bahwa semua mi menggej ala dalam era penadaban ‘modem.

Contoh-contoh di atas rnenunjukkan suatu paradoks dalam kaitannya dengan globalisme sebagai canapandang dalam era kontemporer. Benlangsungnya proses globalisasi dalam hubungan antar-bangsa justrn berjalan seining dengan kebangkitan (kembali) nasionalisme, bahkan etnosenstnisme. Kenyataan mi sekaligus menunjukkan bahwa sekecil-kecilnya suatu masyarakat pendukung budaya tententu tidak akan begitu saja menyenah pada dominasi kebudayaan asing. Maka merajalelanya globalisme tidak mustahil justrn akan menjadi pengantar kebangkitan (kembali) nasionalisme, bahkan mungkin etnosentnisme. Adanya satu bendena sebagai atnibut Uni Eropa bukan berarti bahwa bangsa-bangsa Eropa yang tergabung dalam Uni tersebut bersedia mengganti bendenanya masing-masing. Berbagai atnibut kebangsaan nyatanya masih tetap dipertahankan oleh bangsa-bangsa yang tengabung dalam Uni Enopa; demikian juga onientasi masing-masing bangsa pada kesejarahan dan kebudayaannya yang khas. Berdasarkan perbedaan bahasa pun mereka menghayati identitasnya yang khas sebagai rumpun budaya. Bahkan negeni sekecil Luxembourg pun kini mulai memperkenalkan kembali bahasa ‘Luxembourgen’, di samping bahasa Perancis dan Jerman yang selama mi berlaku sebagai bahasa resmi di negeni itu; menanik sekali bahwa upacara pelantikan Presiden Irlandia beberapa waktu yang lalu tidak dilakukan dalam bahasa Inggenis yang selama mi benlaku di Inlandia, melainkan dalam bahasa Inlandia yang jauh berbeda dengan bahasa Inggenis.

Kenyataan sebagai bangsa sesama penghuni satu benua tidak mungkin mengingkani pluralisme budaya sebagaimana berlanjut dalam pen kehidupan masyarakat bangsa-bangsa itu. Maka proses globalisasi yang melaju pesat menjelang akhin abad mi bolehjadi justru mernpakan blessing in disguise bagi mencuatnya kesadaran tentang kenyataannya, bahwa diferensiasi budaya

sesungguhnya merupakan cinikhas umat manusia sebagai konfigurasi pen kehidupan yang bensuku-suku dan berbangsa-bangsa. Pengingkaran terhadap kenyataan tersebut akan selalu membangkitkan usaha penangkalan dan penentangan; penjelmaan kedua usaha itu sekaligus memantulkan tinggi­nendahnya denajat ketahanan bangsa dan budayanya. Demikianlah arns globalisme yang kian meningkat pada suatu saat niscaya akan dirasakan memudarkan nilai-nilai budaya bangsa, dan terpaan globalisme itu akhimya akan membangkitkan nasionalisme sebagai jawabannya. Mengikuti apa yang diajarkan oleh pakar sejanah Arnold Toynbee, proses sejarah adalah berangkainya sahut-menyahut antara challenge and respons, maka globalisme sebagai challenge niscaya akan menghadapi nasionalisme sebagai respons. Mustahil globalisme akan benlanjut hingga takluk dan punahnya keanekaragaman budaya dalam kehidupan umat manusia; mustahil globalisme akan benlanjut hingga timbulnya kebudayaan universal yang tunggal.

Susila yang seharusnya meyertai kenyataan tersebut ialah upaya saling­kenal dan saling-apresiasi antar-suku dan antar-bangsa, tanpa sesuatu fihak merasa superior dan memandang inferior fihak lainnya. Hubungan antar-budaya tidak bisa direntang pada skala superior-inferior. Setiap manifesatsi budaya selalu mengisyaratkan apa saja yang sepanjang sejarah eksistensi masyarakat pendukungnya dianggap sebagai penjelmaan kebaikan (good) dan kebajikan (virtue). Dalam analisis akhimya dapat disimpulkan bahwa -dan sudutpandang masyarakat pendukungnya- setiap kebudayaan merupakan transendensi manusia terhadap lingkungan alamiahnya. Setiap tahap dalam perkembangan kebudayaan menunjukkan adanya kontinuitas tertentu dan genenasi-ke-generasi dalam masyanakat pendukungnya. Kebudayaan benmakna sebagai kenangka acuan bagi carapandang masyarakat pendukungnya tentang kesejanahannya (historicity), yaitu seluruh rentangan masalalu-masakini-masadepan eksistensinya. Perkembangan kebudayaan selalu disertai oleh bekerjanya serentak daya preservatif dan daya progresif; bekerjanya kedua daya itulah yang menjadikan perkembangan kebudayaan sebagai suatu evolusi kreatif yang setiap tahapnya pada gilirannya merupakan sehimpunan potensi barn bagi aktualisasi selanjutnya. Maka selama sesuatu kebudayaan masih memiliki daya pneservatif dan daya pnognesif serta benlanjutnya perkembangannya sebagai evolusi kneatif, maka selama itu kebudayaan menjadi pijakan bersikap dan berpenilaku bagi masyarakat pendukungnya dalam menghadapi berbagai tantangan sepanjang perjalanan sejarahnya.

Bebenapa sumben pustaka:

Bull, H. & Watson, A. University Press, Oxford, 1984.

“Expansion of the international community”, Oxford

Cassirer, E. “An essay on man; an introduction to a philosophy of human culture”, New Haven and London, Yale University Press, 1944, renewed 1972. Buku mi memuat uraian yang komprehensiftentang kebudayaan sebgai gejala kemanusiaan.

Clark, I. “Globalization and Fragmentation”, Oxford University Press Inc., New York, 1977. Dalam buku mi disajikan berbagai pendapat tentang globalisasi serta terjadinya fragmentasi dalam pola interaksi global.

Harvey, D. “The condition of post-modernity”, Blackweii Publ. Inc., Oxford, 1990/repr. 1995. Harvey menjabarkan kodisi kemanusiaan dalam masa pasca-modemisme.

Huntington, S. “The clash of civilizations and the remaking of world order”

(Simon & Schuster, New York, 1966. Buku mm terkenal sebagai salah satu karya yang

meramalkan berbagai kecenderungan global, terutama berkenaan dengan pertemuan antarbudaya Barat-Nonbarat.

Korten, D.C. “When corporation rule the world”, co-publication of Kumarian Press Inc., West Hartford, CT. and Berret-Koehler Publishers, San Francisco, CA., 1996.

Dalam buku mi David Korten melakukan kritik terhadap trio IMF-World Bank-WTO dan pengaruhnya pada perwujudan ‘global capitalism’.

Korten, D.C. “The post-corporate world” (penerbit: s.d.a., 1999); khususnya Part IV/l 1 “Culture sh~fl” dan 1V114 “Engaging the future “. Dalam buku liii D.Korten melengkapi pandangannya yang dimuat dalam bukunya yang pertama di atas ml.

Martin, H-P & Schumann, H. “The Global Trap: Globalization and the assault on prosperity and democracy” (Zed Books Ltd, London, 1997). Khususnya bab 1 tentang “The 20:80 society”, him 1 s/d 11 dan bab penutup tentang saran pencegahannya “Ten ways to prevent the 20:80 society”, him 241-243.

Mazrui, A.A. “Cultural forces in world politics” (James Currey, London, 1990).

Buku ml menggambarkan betapa kebudayaan berpengaruh dalam pola hubungan politik antarbangsa.

Wallerstein, I. “Geopolitics and Geoculture: Essays on the changing world-system” (Cambridge: Cambridge University Press, 1991). Buku mm bisa melengkapi pandangan tentang A.A. Mazrui tersbut di atas.

Bahan bahasan dan jawaban.

1) Pembicaraan tentang globalisasi seringkali melengahkan prosesnya yang berkenaan dengan persebaran gagasan dan ideologi (ideas and ideologies) secara global. Tekanan lebih diletakkan pada globalisasi di bidang ekonomi dan perdagangan, apalagi setelah berfungsinya I.M.F­W.B.-W.T.O. sebagai trio yang mengatur kaidah perilaku (codes of conduct) dalam bidang tersebut. Globalisasi juga diterapkan sebagai bagian esensial dalam geopoiitik yang pelaku-pelakunya dapat digolongkan dalam berbagai ‘ukuran kekuatan’, a.l. yang disebut kekuatan-kekuatan global (global powers) , yaitu kekuatan-kekuatan yang sesuai keperluan dan kepentingannya dapat menghadirkan din di belahan dunia mana saja. Yang sering diabaikan ialah kenyataan makin meningkatnya pertemuan antar-budaya pada skala global; padahal justru dalam bidang inilah terjadinya pengalihan nilai-nilai (transfer of values) yang selanjutnya bisa berdampak terhadap reorientasi nilai-nilai dan gayahidup (l~fesiyle) masyarakat yang terlibat dalam pertemuan itu. Ketimpangan dalam kaitan mi ialah bahwa proses pengalihan nilai-nilai itu cenderung terjadi secara satu-arah (one-way), yaitu dan fihak yang menguasai pemanfaatan teknologi canggih dalam media komunikasi sebagai pengirim (transmitter) kepada fihak yang tertinggal dalam penguasaan teknologi ybs sebagai penerima (receiver). Maka disequilibrium menandai perwujudan asas ‘free flow of information” sebagaimana dianjurkan oleh UNESCO.

J: Dengan dibubarkannya Departemen Penerangan dan belum adanya badan penggantinya, maka pertanyaan yang mendesak ialah sejauhmana kesiapan kita untuk menyebarkan bahan informasi yang bisa merupakan imbangan daiam “free flow of information” pada skala global. Menghadapi tantangan mi fungsi penerangan hams segera dipulihkan dan ditringkatkan kesanggupannya secara optimal untuk sejauh mungkin menjadi pengimbang terhadap anus informasi asing, khususnya yang berkenaan dengan dinamika kehidupan nasional kita. Kerjasama antara sesama kantor berita sekawasan Asia-Pasifik periu digalang selekasnya.

2) Pada bulan September 1995, suatu pertemuan diselenggarakan di
Fairmont Hotel, San Francisco, yang diikuti oleh 1k 500 peserta yang
terdiri dan tokoh-tokoh terkemuka dunia dan berbagai bidang kegiatan
dan keahlian serta benasal dan berbagai benua. Pertemuan mi dipimpin
oleh Mikhael Gorbachev —yang menyebut forum mi sebagai “the global
brains trust”— dan diharapkan dapat menghasilkan gambaran tentang
kecenderungnan perkembangan “the new civilization” memasuki abad
ke-2 1. Salah satu kesimpulan dan diskusi intensif selama tiga han

pertemuan tsb ialah, bahwa dalam abad mendatang… “2 0% of the population will suffice to keep the economy going. “… “A fifth of all job-seekers will be enough to produce all the commodities and to furnish the high-value services that world society will be able to afford” Sejauhmana kecendenungan demikian itu dapat kita terima dan bagaimana selanjutnya antisipasi kita tenhadap kemungkinan terwujudnya apa yang kemudian terkenal sebagai “the 20:80 society” itu, baik pada skala global maupun pada tataran nasional?

J: Andaikata angka 20:80 itu tidak sepenuhnya tepat, namun perbandingan tersebut cukup menggambarkan bahwa perkembangan selanjutnya dalam era modem dan pasca-modem kiranya akan ditandai oleh kesenjangan yang menganga antara mereka yang maju dan mereka yang tertinggal; golongan pertama bisa bertahan secara produktif, sedangkan yang kedua terutama cenderung konsumtif. Tantangan mi tidak bisa lain kecuali hams dihadapi dengan peningkatan ikhtiar pendidikan nasional, balk kuantitatif maupun kualitatif.

3) “Never before have so many people heard and known so much about the rest of the world. For the first time in history, humanity is united by a common image of reality”. Dalam minus mi tercakup terpaan informasi yang berpengaruh terhadap terjadinya perubahan nilai-nilai budaya dan norma-norma penilaku. Penlu kita tinjau sejauhmana hal mi mulai tenasa dampaknya terhadap masyarakat kita, khususnya generasi mudanya? Sudahkah kita cukup mengkaji kemungkinan dialaminya keterasingan budaya oleh generasi muda kita dan membiarkan informasi dan budaya asing seluas dan sebebas rnungkin menerpa masyarakat kita melalui berbagai sarana teknologi modern dan canggih?

J: Erat kaitannya dengan 1) di atas, “common image of reality” itu terbentuk oleh globalisasi gagasan dan wawasan mengenai berbagai gej ala dan peristiwa yang menerpa masyarakat manusia umumnya. Sebagai konsekuensinya terbentuk pula common attitude” terhadap berbagai gej ala dan peristiwa itu dan —dengan atau tanpa disadani— kita pun cenderung memandang relevansi dan signifikansi berbagai permasalahan masyarakat manusia sesuai dengan “common attitude” itu. Keterhanyutan sedemikian itu dapat dihadapi dengan upaya menyegarkan kesadaran kesejarahan kita sebagai bangsa serta ketahanan budaya kita.

4) “Resistance to the all-pervasive forces of modernization along western lines.., has become a major characteristic of the twentieh century. “ (lihat daftar kutipan tenlampin). mi berarti bahwa pada saatnya dan dalam tubuh bangsa-bangsa non-B arat akan timbul penlawanan terhadap apa yang terkesan sebagai upaya pem-barat-an (westernization). Hal mi juga tersirat dalam analisis Huntington, apalagi melalui minus “the West and the rest.” Maka penlu diperkirakan sejauhmana tenhadap berlarut­larutnya proses pem-barat-an itu akan timbul sikap penolakan dalam

masyarakat kita, dan bentuknya yang moderat hingga yang eksesif. ~ Dalam hubungan mi kiranya akan makin menonjol kecenderungan untuk ~ menghadapi meningkatnya materialisme dengan spiritualisme, termasuk pengukuhan agama sebagai pangkal orientasi dalam pen kehidupan ~ individual maupuin kolektif. Kecenderungan untuk menangkal ~ materialisme dengan beronientasi pada nilai-nilai spiritual mi bahkan sudah menggej ala di lingkungan berbagai masyarakat yang tergolong maju dalam penguasaan ilmu dan teknologi.

J: Kita perlu mencermati sejauhmana reaksi masyarakat terhadap berbagai perubalian

sikap dan perilaku —singkatnya: gayahidup— yang sekarang berlangsung dapat ~

menimbulkan susasana yang kondusif bagi terjadinya reaksi berdasarkan ‘hukuni .

pendulum’, yaitu gerak-balik ke arah lawannya (swinging to the other extreme). Kalau ~

benar demikian, maka hams dicermati sejaubmana gerak-balik pendulum itu dapat di- ~

antisipasi dan diperkirakan berbagai modusnya.

5) Erat kaitannya dengan proses pem-barat-an ialah nyaris disakralkannya demokrasi sebagai tatanan kemasyarakatan dan kenegaraan. Segala manifestasi yang didasarkan pada mantra “demi demokrasi” cenderung dibenarkan. Demokrasi semakin cenderung diidentikkan sebagai “kebajikan universal” (common virtue), sehingga berbagai pengambilan keputusan harus ‘dibeni corak demokratis’. Dalam kenyataannya demokrasi dewasa mi hanya tersalur melalui berbagai bentuk korporasi yang selanjutnya bertindak ‘atas nama orang banyak’. Sejalan dengan semangat ‘laissez faire’, maka demokrasi semakin menjadi pembenaran terhadap berbagai kesenjangan dan ketimpangan dalam tatanan kemasyanakan dan kenegaraan. Yang kian menggejala ialah betapa demokrasi membenarkan tumbuhnya elitisme sosial dan politik. Demokrasi dalam era modem mi tampaknya makin menjauh dan asas “liberté, egalité, fraternité” yang sangat memperhatikan dan menghargai martabat manusia sebagai eksistensi pnibadi.

J: Kita bisa menerima demokrasi sebagai tatanan kemasyarakatan dan kenegaraan. Dengan catatan, bahwa demokrasi tidak boleh mengabaikan hak dan martabat (right and dignity) manusia sebagai eksistensi personal. Demokrasi juga hams dihindarkan menjadi alat rekayasa kekuasaan ‘atas dasar majoritas suara’ belaka. Dalam demokrasi sejati tetap berLaku “the force of logic” dan bukannya “the logic of force “. Hal liii perlu ditekankan sebagai bagian dafl pendidikan menuju demokrasi, agar kebiasaan unjuk-kekuatan (show of force) tidak gampang menjadi pilihan untuk memaksakan kehendak ‘suara terbanyak’. N.B.: yang banyak belum pasti berarti balk —apalagi pasti benar—, sedang yang balk pasti berarti banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Guruku

Guru yang baik bukan hanya yang bersertifikasi. Guru yang baik bukan hanya mereka yang suka bermake up ria. Guru yang baik bukan h...