Selasa, 26 Juli 2011

about www.RumahKerja.com

Candidate Login
Email :
Password :

Forgot Password
New User Registration
Employer Login
Email :
Password :

Forgot Password
New User Registration
Search Jobs in Indonesia
View Latest Jobs
Put Job Title or Description of a Job
Advanced Search
Latest Updates
Tips Membangun KaRiR

Keinginan untuk menjadi sukses di karir memang impian setiap orang. Banyak kisah sukses yang mampu memotivasi serta membuat kita ingin untuk mencapai titik tersebut.

Namun keadaan tersebut sering membuat kita lupa bahwa membangun karir bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan secara instan apalagi sekedar coba-coba. Banyak orang yang hanya coba-coba membangun karir di bidang tertentu tanpa memiliki rencana dan pemahaman sebelumnya. Berikut ini sedikit tips dalam membangun karir yang akan membawa Anda pada capaian yang Anda inginkan.

Sadari Potensi dan Keinginan Anda

Menyadari potensi akan memberikan Anda kemudahan dalam mengerjakan pekerjaan Anda nantinya. Sedangkan keinginan akan membantu Anda untuk memaksimalkan dan berpikir positif pada pekerjaan Anda. Kedua hal ini tentu akan memaksimalkan kinerja Anda jika Anda ditarik bergabung dan bekerja pada perusahaan yang Anda tuju.



membangun karir

Pilih Perusahaan-Perusahaan yang Sesuai dengan Karakter Anda

Menentukan sebuah karir membutuhkan komitmen yang tinggi, untuk itu jangan biarkan Anda membuang waktu dengan memilih sesuatu yang sedari awal sudah Anda yakini tidak pas atau sesuai dengan karakter Anda. Karakter ini bisa berkaitan dengan potensi, keinginan, maupun karakteristik pola kerja Anda lainnya. Asal mencoba mengirimkan lamaran akan membuka peluang Anda bekerja pada perusahaan-perusahaan yang tidak sesuai dengan karaktersitik Anda. Dan pada akhirnya karir Anda terhenti ataupun Anda hanya akan terus mencari-cari serta membuang waktu Anda.

Atur Strategi

Membangun karir memerlukan strategi yang tepat agar Anda dapat menggapai mimpi Anda. Memiliki stretegi bukan berarti Anda harus menjadi “kutu loncat” ataupun seseorang yang terlalu kompetitif hingga memunculkan persaingan tidak sehat dalam lingkungan kerja Anda. Strategi justru memungkinkan Anda meraih apa yang Anda inginkan tanpa harus merusak citra diri Anda maupun merugikan orang lain di sekitar Anda.

Membangun karir adalah pilihan dan kepentingan Anda. Karir bukanlah sesuatu yang dipaksakan dari luar diri Anda. Rencanakan karir Anda dengan matang sedini mungkin dan bekali diri Anda dengan berbagai kebutuhan yang dapat membawa Anda meraih karir yang Anda impikan. Selamat mencoba.



Salam Sukses!



Edited By : Frans Halawa

more...
PT Exa Mitra Solusi

Mencari Administrasi/Data Entry
more...
For Candidates: Home | Search Jobs | View Latest Jobs | Candidate Login | Petunjuk For Employers: Employer Login | Petunjuk
Copyright © 2008 rumahkerja.com - All Rights Reserved. Developed by Jesolution
Contact Us | Privacy Policy | Terms and Condition

Tips Menghindari 10 ‘Dosa’ Manajer Baru

Tips Menghindari 10 ‘Dosa’ Manajer Baru
July 22nd, 2011 | By Muhammad Hidayat Kusprihanto | Category: Tips Karir

Your webmaster search is: Tip-tipsmenjauhi dosa

F. John Reh, pakar manajemen dan penulis buku Business: The Ultimate Resource, memberikan sejumlah saran agar Anda tidak melakukan kesalahan yang sering dan biasa dilakukan para manajer baru. Menurut About.com, “50% manajer baru tidak menerima pelatihan dari perusahaan sebelum mengemban jabatan baru mereka“. Berikut ini tips menghidari 10 ‘dosa’ Manajer Baru, agar Anda dicintai sekaligus dihormati di lingkungan perusahaan Anda :

1. Tahu Segalanya. Prestasi kerja yang outstanding memang salah satu faktor yang mengantar Anda ke kursi manajer. Tapi ini belum mengindikasikan Anda tahu segalanya. Anda masih awam dalam menjalankan tugas manajerial yang penting : mengelola bawahan yang memiliki latar belakang dan sifat yang berbeda-beda. Jadi, buka pikiran dan dengarkan masukan dari anak buah. Setelahnya Anda akan tahu, masih ada hal yang perlu Anda perlajari.

2. Perubahan Total. Boleh saja memiliki ide brilian untuk menggenjot kinerja divisi atau unit kerja Anda. Tetapi jangan lantas merepotkan seluruh dunia dengan melakukan perombakan total, termasuk di dalamnya mekanisme dan budaya kerja. Berada di kursi pemimpin bukan berarti menyesuaikan segalanya denan style Anda. Lakukan perubahan secara bertahap agar orang-orang di sekeliling Anda tidak kaget. Jelaskan keuntungan yang akan diperoleh bila melakukan prosedur kerja dengan cara Anda.

3. Tidak Melindungi. Atas, selain bertugas sebagai ‘mandor’ juga berperan sebagai ‘kepala keluarga’. Artinya, bukan hanya menuntut kinerja terbaik dari anak buah, Anda juga mesti membela kepentingan mereka. Misalnya, mempertahankan nama baik divisi atau unit kerja kala mengalami kegagalan proyek. Atau memperjuangkan kenaikan gaji bagi karyawan berprestasi. Tidak ‘pasang badan’ demi bawahan bisa membuat Anda kehilangan loyalitas dan respen dari mereka.

4. Bersikap Bossy. Sikap bossy bukanlah cara efektif untuk mendatangkan rasa hormat dari anak buah. Tunjukan kepada bawahan bahwa Anda adalah pemimpin yang bisa diandalkan dengan cara melakukan berbagai hal positif dan memberikan teladan.

5. Tidak Pede. Jangan biarkan rasa tidak percaya diri mengahalangi Anda menunjukkan performa kerja terbaik Anda. Percayalah, perusahaan tidak akan menempatkan Anda pada posisi manajer kalau merasa Anda belum mampu menerimanya.

6. Tak Peduli. Bekerja selama bertahun-tahun dengan para rekan kerja bukan berarti Anda sudah mengenal diri mereka luar dalam. Terlebih, Anda saat ini menempati posisi sebagai atasan mereka. Sebagai manajer, Anda harus tahu apa saja yang bisa mempengaruhi performa anak buah dalam bekerja. Dengan demikian Anda akan mampu memotivasi bawahan serta menerapkan teknik manajerial yang tepat.

7. Menjauhi Atasan. Menjadi manajer baru mengharuskan Anda menghadapi situasi kerja dan daftar tugas yang serba baru. Makanya, jangan heran bila hampir seluruh waktu Anda terkuras habis dalam proses adaptasi. Tapi, meski sibuk luar biasa, jangan sampai Anda alpa menemui atasan untuk memberikan update laporan dan meminta masukan berharga. Berkonsultasi dengan bos adalah cara terbaik untuk mengasah kemmapuan menajerial Anda.

8. Menghindari Masalah. Jangan sekali-sekali ‘buang badan’ terhadap masalah yang dihadapi divisi Anda. Mencari jalan keluar terbaik dari masalah yang dihadapi dan memastikan langkah tersebut dilakukan dengan benar adalah tugas Anda sebagai pemimpin. Jangan khawatir, Anda masih boleh kok meminta masukan dari orang lain untuk memudahkan proses pengambilan keputusan.

9. Jaga Image. Anda boleh kok menampilan emosi di hadapan anak buah. Manajer juga manusia. Boleh saja sesekali tertawa terbahak-bahak atau menunjukan rasa senang dan sedih karena suatu hal. Sikap ini justru menunjukan pada bawahan bahwa Anda tidak kaku dan memiliki sisi ‘manusiawi’. Anda bukan manajer robot bukan? Hal ini akan membuat mereka merasa nyaman bekerja bersama Anda.

10. Tak Bertanggung Jawab. Suka atau tidak, sebagai seseorang manajer, Anda bertangungjawab terhadap berbagai hal yang terjadi dalam divisi atau unit kerja Anda. Tugas Anda adalah membina komunikasi yang baik antar anggota tim supaya tak satu pun perkara yang luput dari pengamatan Anda. Atur pula langkah untuk mengantisipasi masalah yang mungkin muncul. Kian tinggi jabatan, kian besar pula tanggung jawab Anda.

Senin, 25 Juli 2011

Antara Budaya barat Dan timur

Kata ‘globalisasi’ makin lama makin menjadi sajian sehari-hari melalui berbagai pemyataan publik dan liputan media massa; dan kalau semuanya itu kita perhatikan secara saksama, maka akan ternyata betapa kata ‘globalisasi’ itu cenderung dilontarkan tanpa terlalu dihiraukan apa maknanya. Pernyataan seperti “dalam era globalisasi dewasa mi” berarti bahwa kita telah berada dalam era globalisasi; lain lagi halnya kandungan pernyataan “menjelang era globalisasi” yang berarti kita belum berada dalam era tersebut. Kelatahan dalam penggunaan kata ‘globalisasi’ sedemikian itu akhimya mengesankan kesembarangan arti kata globalisasi, dan makin mengaburkan implikasi dan komplikasi makna yang terkandung di dalamnya.

Globalisasi pada hakikatnya adalah proses yang ditimbulkan oleh sesuatu kegiatan atau prakarsa yang dampaknya bekelanjutan melampaui batas­batas kebangsaan (nation-hood) dan kenegaraan (state-hood); dan mengingat bahwa jagad kemanusiaan ditandai oleh pluralisme budaya, maka globalisasi sebagai proses juga menggejala sebagai peristiwa yang melanda dunia secara lintas-budaya (trans-cultural). Dalam gerak lintas-budaya mi terjadi berbagai pertemuan antar-budaya (cultural encounters) yang sekaligus mewujudkan proses saling-pengaruh antar-budaya, dengan kemungkinan satu fihak lebih besar pengaruhnya ketimbang fihak lainnya. Pertemuan antar-budaya memang menggej ala sebagai keterbukaan (exposure) fihak yang satu terhadap lainnya; namun pengaruh-mempengaruhi dalarn pertemuan antar-budaya itu tidak selalu berlangsung sebagai proses dua-arah atau timbal-balik yang berimbang, melainkan bolehjadi juga terjadi sebagai proses imposisi budaya yang satu terhadap lainnya; yaitu, terpaan budaya yang satu berpengaruh dominan terhadap budaya lainnya.

Apakah yang kita maksudkan dengan ‘budaya’ atau ‘kebudayaan’ itu? Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan mi banyak cara dapat ditempuh. Kita dapat mencari jawaban berdasarkan etimologi; cara mi mungkin menarik secara akademik namun mungkin terlalu steril untuk diturunkan sebagai medium analisis dalam terapan empirikal. Cara lain ialah memperbandingkan berbagai definisi yang dapat dipandang terkemuka dalam literatur; cara mi akan membutuhkan uraian panjang lebar karena biasanya perlu diperjelas dengan tafsiran konseptual dan kontekstual. Mungkin juga kita lakukan pendekatan komparatif antara suatu teori dengan lainnya; cara mi jelas dapat memperkaya wawasan kita tentang kebudayaan, tapi keunggulan suatu teori berkenaan dengan sesuatu gej ala budaya tidak selalu bearti keunggulan teori itu

secara menyeluruh; tiap teori bisa saja memiliki keunggulan dalam satu dan lain hal, sehingga konvergensi antar-teori mungkin saja digunakan dalam usaha memahami berbagai manifestasi budaya.

Kalau kita sarikan muatan berbagai definisi yang terkemuka, maka tidak terlalu keliru kiranya kalau kita mengartikan kebudayaan sebagai sehimpunan nilai-nilai yang oleh masyarakat pendukungnya dijadikan acuan bagi perilaku warganya. Nilai-nilai itu juga berpengaruh sebagai kerangka untuk membentuk pandangan hidup yang kemudian relatif menetap dan tampil melalui pilihan warga budaya itu untuk menentukan sikapnya terhadap berbagai gejala dan peristiwa kehidupan. Nilai-nilai itu pada sendirinya barn merupakan acuan dasar yang keberlakuannya disadarkan melalui ikhtiar pendidikan sejak dini, seperti misalnya usaha pengenalan dan penyadaran tentang apa yang ‘baik’, ‘buruk’, ‘dosa’, ‘indah’, dsb dalam tindak-tanduk seseorang. Sebagai sumber acuan, persepi terhadap nilai-nilai itu masih besifat umum; batas antara apa yang dinilai sebagai kebajikan (good) atau kejahatan (evil) berlaku dalam garis besar yang memisahkan satu dan lainnya; belum lagi antara keduanya diperbedakan dalam perbandingan ‘seberapa balk’ atau ‘seberapa buruk’ dipandang dan tolokukur tertentu; tolokukur itu baru menjelma melalui norma-norma sebagai pengatur kepantasan perllaku. Norma (nomos) adalah tolokukur yang memungkinkan terjadinya konformisme perilaku dalam sesuatu masyarakat, dan dengan demikian tersedia pula ukuran untuk non­konformisme. Adanya tolokukur normatif mi menjadi dasar bagm berkembangnya peradaban (civilization) sebagai bagian dan dinamika budaya tertentu.

Dan uraian di atas mi dapat disimpulkan, bahwa kebudayaan adalah kerangka acuan perilaku bagi masyarakat pendukungnya berupa nilai-nilai (kebenaran, keindahan, keadilan, kemanusiaan, kebajikan, dsb), sedangkan peradaban adalah penjabaran nilai-nilai tersebut melalui diwujudkannya norma-norma yang selanjutnya dijadikan tolokukur bagi kepantasan perilaku warga masyarakat ybs. Nilai keadilan diwujudkan melalui hukum dan sistem peradilan; nilai keindahan dijabarkan melalui berbagai norma artistik, nilai kesusllaan dinyatakan melalui berbagai tatakrama, nilai religius diungkapkan melalui berbagai norma agama, dan begitu seterusnya. Singkatnya, penjabaran nilai kebudayaan menjadi norma peradaban dapat dipandang sebagai pengalihan dan sesuatu yang transenden menjadi sesuatu yang immanen. Terjalinnya kesadaran transendensi dan immanensi inilah yang menjadikan dinamika sejarah kemanusiaan sebagai kaleidoskop perkembangan kebudayaan dan peradaban.

Pasang-surutnya kebudayaan sepanjang sejarah kemanusiaan nyata sekali ditentukan oleh sejaubmana kebudayaan itu masih berlanjut sebagai kerangka

acuan untuk dijabarkan melalui sesuatu tatanan normatif. Misalnya, kebudayaan Pharaonic yang benlaku dalam masyarakat Mesir kuno surut seiring dengan klan memudarnya kebudayaan itu sebagai sumber acuan untuk penjabaran norma-norma perilaku bagi masyarakat Mesir sekarang. Tapi juga dalam era kontemporer mi suatu kebudayaan sebagai sistem nilai dapat dengan suatu rekayasa didesak oleh sistem nilai barn, sehingga kebudayaan yang lama kehilangan dayanya sebagai acuan untuk menjabarkan norma-norma perllaku. Perhatikan misalnya “Revolusi Kebudayaan” yang secara berencana dilancarkan di Republik Rakyat Cina pada pertengahan tahun 6Oan; perubahan serupa pun teijadi tatkala Partai Komunis Rusia berhasil menggulingkan kekaisaran di Rusia dan memperkenalkan nilai-nllai barn sebagai acuan bagi norma perllaku barn yang ideal bagi suatu masyarakat komunis. Perhatikan pula perubahan yang terjadi di Turki, ketika Kemal Attaturk melancarkan gerakan modernisasi (yang diartikan sebagai ‘westemisasi’). Kesemuanya mi sekaligus menunjukkan bahwa kebudayaan adalah suatu pengejawantahan yang hidup selama ada masyarakat pendukungnya; hal mi berlaku balk bagi kebudayaan yang surut oleh perubahan zaman maupun yang kehadirannya dipaksakan untuk mendesak kebudayaan lama.

Dalam sejarah kemanusiaan banyak contoh yang menunjukkan, bahwa timbul-tenggelamnya kebudayaan sangat dipengaruhi oleh apa yang tenjadi dalam pertemuan antarbudaya, yaitu sejauh mana satu di antara fihak yang saling bertemu kurang atau tidak lagi memiliki ketahanan budaya (cultural resilience). Kebudayaan adalah suatu daya yang sekaligus tersimpan (latent) dan nyata (actual). Demikianlah kebudayaan mengandung dua daya sekaligus, yaitu sebagai daya yang cenderung melestanikan dan daya yang cenderung berkembang atas kemekarannya sendiri. Antara kedua daya inilah tiap masyarakat pendukung kebudayaan tertentu berada; satu daya mempertahankannya agar lestani dan daya lainnya menariknya untuk maju; satu daya dengan kecenderungan preservatif dan satunya lagi dengan kecenderungan progresif. Dalam kondisi demikian itulah pertemuan antar­budaya sangat berpengaruh atas perimbangan antara kedua daya tersebut. Sampai batas tertentu dan saling-pengaruh yang terjadi itu dapat terpantul seberapa tinggi derajat kesadaran dan tingkat ketahanan budaya masing-masing fihak yang saling bertemu. Tangguh atau rapuhnya ketahanan budaya biasanya dilatani oleh menurunnya kesadaran masyarakat yang bersangkutan terhadap kebudayaannya sebagai pengukuh jatidirinya. Makin rendah derajat ketahanan budaya masyarakat pendukungnya, makin kuat pula budaya asing yang menerpanya berpengaruh dominan terhadap masyarakat itu.

Proses globalisasi yang diakibatkan oleh berbagai prakarsa dan kegiatan pada skala internasional sebagaimana menggej ala dewasa mi pun penlu kita cermati sejauhmana siginifikan pengaruhnya dalam pertemuan antar-budaya. Dalam kaitan mi pertemuan antar-budayajangan terutama digambarkan sebagai pertemuan antara dua fihak belaka, melainkan terjadi dengan ketenlibatan sejumlah fihak secara segera (instantaneous) serta serempak (simultaneous). Kesanggupan sesuatu satuan budaya untuk mempertahankan kesejatiannya dalam pertemuan antar-budaya yang demikian majemuknya itu sangat ditentukan oleh tinggi-rendahnya derajat kesadaran budaya dan tanguh­rapuhnya tingkat ketahanan budaya masyarakat pendukungnya. Budaya asing yang berpengarnh dominan terhadap satuan budaya asli bisa membangkitkan kesan sebagai ‘model’ untuk ditiru. Kecenderungan meniru itu dalam kelanjutannya bisa terpantul melalui berkembangnya gayahidup (ljfestyle) barn yang dianggap superior dibandingkan dengan gayahidup lama. Berkembangnya gayaliidup baru itu dapat menimbulkan kondisi sosial yang ditandai oleh heteronomi, yaitu berlakunya herbagai norma acuan penilaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Perubahan gayahidup yang ditiru dan budaya asing bisa berkelanjutan dengan timbulnya gejala keterasingan dan kebudayaan sendiri (cultural alienation).

Karena perhatian akan kita pusatkan pada persoalan pertemuan antar­budaya dalam era globalisasi, maka ada baiknya kita bahas dahulu hal-ihwal yang berkenaan dengan globalisasi sebagai proses maupun globalisme sebagai carapandang yang dewasa mi cenderung dianut dalam tata-pergaulan intemasional. Sebagai proses, globalisasi benlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antarbangsa, yaitu dimensi ruang (space) dan waktu (time). Ruang (d.h.i: jarak) makin diperdekat dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala mondial. Seantero jagad seolah-olah tertangkap dalam satu janingan besar tanpa adanya suatu pusat tunggal. Kendatipun dalam periode Perang Dingin kondisi bipolar seakan-akan membelah-dua dunia mi dengan pengendalian dan dua pusat kekuatan dunia yang saling bertentangan, usainya Perang Dingin tidak menjadikan dunia kita monosentnik. Justru plunisentrisme dan multipolaritas menjadi cmi dunia menjelang akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-2 1. Tidak ada kekuatan tunggal yang mutlak dan sanggup mengabaikan -apalagi mengungguli- kondisi global yang plurisentnik dan multipolar dalam era kontemporer. Dalam kondisi demikian itulah globalisme menjadi carapandang dalam interaksi antarbangsa, dan hal ml pada gllirannya mendorong berlangsungnya proses globalisasi yang terus berkembang atas kemekarannya sendini.

Dalam perkembangan sedemikian itu dirasakan makin dipenlukannya suatu tatanan dunia baru yang perwujudannya memperhatikan plurisentrisme

dan multipolanitas sebagai kenyataan global masakini. Tatanan itu tentu menuntut dirancangnya berbagai sistem dan pelembagaan yang hams diwujudkan sebagai konsekuensinya. Rancangan demikian itu tentunya hams dapat ditenima oleh majonitas eksponen yang ambilbagian dalam janingan global yang plunisentrik dan multipolar. Ditenimanya suatu tatanan global barn mestinya dapat diandalkan pada tergalangnya konsensus maksimal di antara segenap eksponen yang berperan dalam janingan itu. Dewasa mi sistem dan pelembagaan termaksud tenutama nyata perkembangannya dalam bidang ekonomi dan perdagangan internasional; globalisasi dalam bidang ml sudah dijangkau oleh sistem dan pelembagaan yang makin dijadikan acuan dalam hubungan internasional. Dalam bidang mi tampaknya tiada altematif lain bagi kita kecuali turut berperan di dalamnya, suka-tak-suka; sedang kesiapan untuk ambilbagian dalam tatanan barn itu merupakan imperatif yang sukar dielakkan, mau-tak-mau.

Dalam naskah mi perhatian kita pusatkan pada penjelmaan globalisme dalam bidang yang jelas berdampak terhadap wawasan budaya kita, yaitu bidang informasi dan komunikasi yang sangat tertunjang oleh pesatnya laju perkembangan teknologi yang semakin canggih. Dalam bidang inilah terjadi pemadatan dimensi rnang dan waktu (yang disebut Harvey ‘time-space compression’); jarak makin diperdekat dan waktu makin dipersingkat. Dalam bidang informasi, maka terjadilah banjir deras informasi (information glut) yang menghujani kita dan nyanis tak lagi terkendali; dan sebagaimana terjadi dengan setiap banj in, maka dalam hal mi pun terbawa limbah yang samasekali tidak berguna; maka betapa pun paradoksal kedengarannya, banjir informasi melalui sistem dan pelembagaan yang didukung oleh teknologi canggih tidak dengan sendirinya mempenkaya wawasan kita, melainkan bisa juga mencemani kita secara mental. Maka tidaklah mengherankan kalau banjir informasi itu akhirya juga bisa benpengaruh terhadap carapandang maupun gayahidup kita; dan inilah awal dan suatu proses yang akhimya bisa bermuara pada pernbahan sikap mental dan kultural.

Teknologi informasi dan komunikasi dalam era globalisasi mi merupakan pendukung utama bagi tenselenggaranya pertemuan antarbudaya. Dengan dukungan teknologi modem infonmasi dalam berbagai bentuk dan untuk benbagai kepentingan dapat disebarluaskan begitu rnpa, sehingga dengan mudah dapat mempengaruhi carapandang dan gayahidup kita. Kesegeraan dan keserampakan anus informasi yang dengan derasnya menerpa kita seolah-olah tidak membenikan kesempatan pada kita untuk menyerapnya dengan filter mental dan sikap knitis. Perlu dicatat, bahwa dalam pertemuan antar-budaya mengalirnya anus informasi itu tidak senantiasa terjadi secara dua-arah; dominasi cendernng terjadi dan fihak yang memiliki dukungan teknologi lebih

maju terhadap fihak yang lebih terbelakang. Makin canggih dukungan tersebut makin besar pula anus informasi dapat dialirkan dengan jangkauan dan dampak global. Kalau dewasa ml dianut asas ‘kebebasan arns informasi’ (free flow of information), maka yang sesungguhnya terjadi bukanlah ‘pertukanan informasi’ (exchange of information) berupa proses dua-arah yang cukup bermmbang, melainkan dominasi anus informasi dan fihak yang didukung oleh kesanggupan merentangkan sistem informasi dengan jangkauan global. Dengan jangkaun sedemikian itu, maka fmhak yang lebih unggul dalam menguasai teknologi informasi dan komunikasi niscaya lebih berkesanggupan untuk membiaskan pengaruhnya secara global.

Gej ala tersebut nyata berpengaruh atas terbentuknya sikap mental dan kultural pada fihak yang diterpa (expose) oleh fihak yang menerpanya (impose) dengan anus informasi. Maka tidak mustahil kemajuan masyarakat yang diterpa cenderung diukur secara memperbandingkan dengan hal-ihwal yang dipenkenalkafl melalui informasi dan fihak yang menerpa. Kecenderungan mi adakalanya dianggap sebagai bagian dan upaya ‘modemisasi’, dan ditenima dengan alasan ‘mengikuti kecenderungafl global’. Sikap yang naif mi antara lain juga ditandai oleh kecenderungan glonifikasi terhadap fihak yang diunggulkan sebagai sumber informasi global dan tampil sebagai penentu kecendeningafl (trend-setter) dalam pembentukan sikap mental dan kultural serta gaya hidup barn.

Tidak benlebihan kiranya kalau sistem dan pelembagaan informasi dan komunikasi global dianggap sebagai andalan yang efektif dalam dinamika lintas-budaya. Persoalannya ialah sejauhmana sistem dan pelembagaan itu juga benpenan secara plunisentnis. Tampaknya ada diskrepansi yang mencolok antara plunisentnisme sebagai kenyataan dunia barn dengan penguasaan sistem dan informasi dan komunikasi global yang nyanis monosentris (dalam anti berpusat di ranah budaya Barat). Sebagai konsekuensinya, maka dalam pertemuan antan­budaya global tenjadi dominasi pengaruh budaya Barat terhadap budaya Timur; polanisasi ‘Barat-Timur ‘mi adalah kelanjutan dan masa sejanah yang ditandai oleh ‘Barat’ sebagai pangkalan kekuatan kolonial dan ‘Timun’ sebagai sasanan kolonisasi. Walaupun ada alasan untuk menggunakaii polanisasi ‘Barat-Timur’ dalam kaitan dengan dikotomi ‘modern-tradisional’, namun dalam tinjauan yang lebih menyeluruh polanisasi tersebut merupakan simplifikasi yang sangat umum dan cenderung diasosiasikan dengan polanisasi ‘Eropa-Asia’ atau ‘Occident-Orient’, atau juga secara lebih umum ‘Barat-NonBarat’. Dalam polanisasi tersebut ‘Barat’ selalu digambarkan sebagai sumber pengaruh yang berdampak dominan tehadap ‘Timur’, apalagi dikaitkan dengan pengertian ‘modernisasi’ dan ‘industrialisasi’. Yang terjadi dalam pertemuan antan-budaya dalam polanisasi demikian itu bukanlah pertukanan pengaruh sebagai proses

dua-anah, melainkan lebih bernpa apa yang oleh Samuel Huntington dinyatakan sebagai “the unidirectional impact of one civlization on others” yang menggej ala melalui polarisasi “the West and the rest “.

Dalam penggolongan tersebut jelaslah bahwa ‘Barat’ bagaimanapun dipandang sebagai nanah budaya tersendini dalam pertemuan antan-budaya global; ‘Barat’ (d.h.i. Enopa) bukan sekedar sebagai pangkalan kekuatan penjelajahan dan penjajahan sebagaimana kenyataannya dalam bebenapa abad sebelum usainya abad ke-20, melainkan ‘Barat’ yang sudah diperluas hingga Amenika Utana, khususnya Amenika Senikat sebagai pusat persebaran informasi global. Maka tidak dapat disangkal betapa dominan peran dan penganuh pusat mi sebagai penyeban informasi global, dan sekaligus bisa mempenkenalkan sikap mental dan kultunal ‘kontemporer’. Dengan demikian pertemuan antar­budaya secara global bagaimanapun juga diungguli oleh satu pusat dengan kesiapan aktualisasi berbagai potensi yang tenkandung dalam sumbendayanya. Kemampuan inilah yang selanjutnya berdampak kuat dalam menumbuhkan carapandang dan gayahidup barn yang cendenung dmtemukan dan ditiru sebagai model. Perubahan gayahidup biasanya juga disertai dengan perubahan onientasi pada nilai-nilai budaya, dan bensama itu juga pernbahan pada norma-norma penilaku yang semula menjadi acuan konformisme.

Maka dapat digambarkan bahwa salah satu konsekuensi dan terjadinya pentemuan antar-budaya ialah kemungkinan tenjadinya perubahan onientasi pada nilai-nilai yang selanjutnya berpengaruh pada terjadinya perubahan norma-norma peradaban sebagai tolokukun penilaku warga masyanakat sebagai satuan budaya. Perubahan onientasi nilai yang benlanjut dengan penubahan norma penilaku itu bisa menjelma dalam wujud pergeseran (shft,), persengketaan (conflict), atau perbenturan (clash). Perubahan dalam wujud yang pertama biasanya tenjadi karena nelatif mudahnya adaptasi atau asimilasi antara nilai dan norma lama dengan yang barn dikenal; yang kedua mernpakan wujud yang paling sening menggejala dan biasanya memenlukan masa peralihan sebelum dihadapi dengan sikap positif (acceptance) atau negatif (rejection). Biasanya wujud yang kedua menunjukkan adanya ambivalensi dalam masyarakat ybs, sehingga ada sebagian warga masyanakat yang menenima perubahan yang terjadi pada onientasi nilai dan norma penilaku, tapi ada pula sebagian lainnya yang menolaknya. Dalam keadaan mi bisa terjadi juxtaposisi antara fihak yang menenima dan fihak yang menolak. Lain halnya dengan penubahan yang berwujud perbentunan; dalam hal mi mudah timbul berbagai derajat sikap penentangan (rejection), dan yang moderat hingga yang paling ekstnem.

Mungkin dalam mempelajani wujud yang ketiga tersebut itulah Huntington terdorong untuk menulis karyanya yang diramaikan orang “The

Clash of Civilization and the Remaking of World Order”. Sayang dalam karya tersebut dia tidak menganggap penlu untuk membuat perbedaan antara anti kata kebudayaan (culture) dan peradaban (civilization); kedua kata itu bahkan digunakan secara saling dipertukarkan (interchangeable). Kanena peradaban melekat pada sesuatu ranah budaya, maka sulitlah membayangkan akan benkembangnya apa yang disebut ‘universal civilizatiion’. Apalagi kalau universalisasi itu didasarkan pada sesuatu kebudayaan sebagai kerangka acuannya, maka jelas yang demikian itu bersandar pada anggapan yang usang bahwa perkembangan peradaban terjadi karena keberhasilan kebudayaan yang ‘superior’ mempengaruhi dan mengubah yang ‘inferior’. Asumsi demikianjelas dilatani praanggapan bahwa ‘the West = superior’ dan ‘the rest = inferior’. Pluralisme budaya sebagai pengejawantahan kemanusiaan tidak mungkin diperbandingkan pada skala superior-inferior, dan tidak ada alasan untuk mencanangkan perlunya dikembangkan satu kebudayaan atau peradaban dunia. Kita bisa berbicara tentang nilai-nilai universal, tanpa berarti benlakunya konsekuensi logis akan berkembang suatu kebudayaan tunggal dan peradaban universal. Nilai-nilai universal itu tiada lain adalah penjelmaan transendental dan keanekaan budaya sebagai cirikhas kemanusiaan sebagai satu umat.

Kenyataan bahwa pertemuan antar-budaya dalam era globalisasi dewasa mi cenderung diungguli oleh satu pusat yang sanggup menimbulkan dampak dominan terhadap kebudayaan lain tidak dengan sendininya akan menghasilkan suatu kebudayaan global dan peradaban universal. Dominasi pengaruh sefihak itu-andaikata pun terjadi-niscaya suatu saat akan disadani sebagai pemangkasan berangsur-angsur tenhadap kebudayaan yang diunggulinya. Meningkatnya kesadanan itu akhinnya akan membangkitkan penentangan dan fihak yang terlanda olehnya, karena dominasi penganuh itu lambat-laun niscaya dirasakan sebagai reduksi terhadap makna nilai-nilai budaya yang diunggulinya. Kerasnya penentangan itu sangat ditentukan oleh betapa kuatnya reduksi tersebut dihayati oleh satuan budaya yang menasa dilanda oleh penganuh budaya asing yang dominan itu. Penentangan itu biasanya tampil serentak bersama kesadaran dipenlukannya ikhtian untuk memulihkan onientasi pada nilai-nilai budaya sendini. Maka betapapun kuatnya sesuatu pusat pengaruh bisa mengungguli ranah budaya lainnya, globalisme budaya dan universalisme peradaban tidak mungkin tenwujud. Pluralisme kebudayaan dan peradaban akan tetap menjadi cinikhas kemanusiaan dan setiap pengingkaran terhadap cinikhas tersebut niscaya akan membangkitkan penentangan, apapun caranya dan bagaimanapun pegejawantahannya.

Demikianlah globalisme dalam manifestasinya yang ekstrem akhimya mungkin justrn membangkitkan kembali kesadanan kebudayaan sebagai pengukuh identitas dan integnitas kebersamaan dalam eksistensinya sebagai

masyarakat dan bangsa. Pertemuan antar-budaya dalam era globalisasi tidak mungkin berakhir dengan hapusnya pluralisme budaya sebagai cinikhas sepanjang sejarah kemanusiaan, betapapun keunggulan pengarnh dan sesuatu lingkungan kebudayaan tertentu menimpa lainnya. Sebab bagaimanapun juga, setiap kebudayaan yang hidup dan masih ada masyarakat pendukungnya pasti memiliki daya preservatif. Daya mi tentu akan bekerja manakala masyanakat tersebut menasakan terjadinya reduksi makna nilai-nilai budayanya sendini; bekerjanya daya mi sekaligus akan membenikan gambaran mengenai derajat kesadaran dan tingkat ketahanan budaya pada masyarakat atau bangsa ybs. Maka menghadapi benbagai peristiwa lintas-budaya dalam era globalisasi dewasa mi makin mendesak perlunya prakansa dan ikhtian yang ditujukan pada peningkatan derajat kesadaran dan tingkat ketahanan budaya bangsa.

Dan uraian di atas mi dapat disimpulkan, bahwa globalisme sebagai fenomena kontemporer mustahil akan meniadakan pluralisme kebudayaan dan peradaban. Sebaliknya, dalam perwujudannya yang ekstnem, globalisme justru dapat menjadi pembangkit nasionalisme yang kii~’~,,I~1ro~ oleh kesadaran sebagai satuan budaya yang khas. Dalam hubungan mi kiranya akan benlaku juga hukum pendulum, yaitu bahwa tanikan ke arah globalisme yang ekstnem niscaya akan menimbulkan gerak-balik ke arah berlawanan, bernpa neaksi yang benwujud nasionalisme (bahkan chauvinisme). Hal mi akan dapat kita saksikan melalui benbagai reaksi penentangan yang cenderung menggej ala sebagai akibat dominasi pengarnh budaya asing terhadap lainnya.

• ~&ii~L4A1~4ALfl~&LA

Tentu saja dalam pertemuan antar-budaya juga terjadi saling-menenima dan saling-membeni, sehingga dalam pertemuan antan-budaya mungkin terjadi pula reonientasi barn. Misalnya, dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan kegotongroyongan kiranya tidak mudah ditumbuhkan sikap individualistik dan komptetitif. Bayangkan betapa sulitnya untuk mengubah onientasi masyanakat Badui melalui perkenalan dengan nilai-nlai budaya asing, atau merubah kebudayaan yang berkembang di Tibet dengan mempenkenalkan masyarakat Tibet pada nilai-nilai budaya Banat yang individualistik dan matenialistik. Sebagaimana dibenitakan akhir-akhir mi banyak bangsa atau sukubangsa yang meratapi surntnya kebudayaan aslinya kanena diungguli oleh kebudayan asing. Sukubangsa Indian di Amenika kembali bernsaha untuk menghidupkan tradisinya yang mulai asing bagi kaum mudanya; masyarakat Chechnya menolak identifikasinya dengan kebangsaan maupun kebudayaan Rusia dan berhasnat untuk mengukuhkan jatidininya sebagai satuan budaya yang khas; masyarakat Basque di Spanyol pun ingin menegaskan identitasnya sebagai satuan budaya yang berbeda dengan kebangsaan dan kebudayaan Spanyol; perhatikan pula misalnya meningkatnya kesadaran masyarakat Quebec di Canada sebagai satuan kebangsaan Penancis dan kebudayaan

tersendini; begitu pula halnya dengan masyarakat Kurdi di Irak dan Tunki yang terus-menenus berusaha untuk memperoleh pengakuan bukan sekedar sebagai golongan etnik, melainkan sebagai satuan kebangsaan dengan kebudayaannya yang khas; demikian pula onang Skotlandia yang enggan diidentifikasikan dengan kebangsaan Inggenis; perbedaan bahasa di Belgia cenderung membelah identifikasi masyarakatnya menjadi dua sesuai dengan benlakunya dua bahasa di Belgia. Masih segar dalam ingatan kita tragedi yang menimpa rakyat Bosnia­Henzegowina dan Kosovo oleh gagasan gila bernpa ethnic cleansing yang dilancarkan golongan etnik Serbia untuk membensihkan wilayah itu dan golongan etnik lain, khususnya yang benagama Islam, a]. dengan pembantaian dan penguburan masal maupun perkosaan kaum wanitanya. Masih banyak contoh tindakan yang dapat digolongkan sebagai “crime against humanity” tenjadi di berbagai belahan dunia; sungguh suatu ironi bahwa semua mi menggej ala dalam era penadaban ‘modem.

Contoh-contoh di atas rnenunjukkan suatu paradoks dalam kaitannya dengan globalisme sebagai canapandang dalam era kontemporer. Benlangsungnya proses globalisasi dalam hubungan antar-bangsa justrn berjalan seining dengan kebangkitan (kembali) nasionalisme, bahkan etnosenstnisme. Kenyataan mi sekaligus menunjukkan bahwa sekecil-kecilnya suatu masyarakat pendukung budaya tententu tidak akan begitu saja menyenah pada dominasi kebudayaan asing. Maka merajalelanya globalisme tidak mustahil justrn akan menjadi pengantar kebangkitan (kembali) nasionalisme, bahkan mungkin etnosentnisme. Adanya satu bendena sebagai atnibut Uni Eropa bukan berarti bahwa bangsa-bangsa Eropa yang tergabung dalam Uni tersebut bersedia mengganti bendenanya masing-masing. Berbagai atnibut kebangsaan nyatanya masih tetap dipertahankan oleh bangsa-bangsa yang tengabung dalam Uni Enopa; demikian juga onientasi masing-masing bangsa pada kesejarahan dan kebudayaannya yang khas. Berdasarkan perbedaan bahasa pun mereka menghayati identitasnya yang khas sebagai rumpun budaya. Bahkan negeni sekecil Luxembourg pun kini mulai memperkenalkan kembali bahasa ‘Luxembourgen’, di samping bahasa Perancis dan Jerman yang selama mi berlaku sebagai bahasa resmi di negeni itu; menanik sekali bahwa upacara pelantikan Presiden Irlandia beberapa waktu yang lalu tidak dilakukan dalam bahasa Inggenis yang selama mi benlaku di Inlandia, melainkan dalam bahasa Inlandia yang jauh berbeda dengan bahasa Inggenis.

Kenyataan sebagai bangsa sesama penghuni satu benua tidak mungkin mengingkani pluralisme budaya sebagaimana berlanjut dalam pen kehidupan masyarakat bangsa-bangsa itu. Maka proses globalisasi yang melaju pesat menjelang akhin abad mi bolehjadi justru mernpakan blessing in disguise bagi mencuatnya kesadaran tentang kenyataannya, bahwa diferensiasi budaya

sesungguhnya merupakan cinikhas umat manusia sebagai konfigurasi pen kehidupan yang bensuku-suku dan berbangsa-bangsa. Pengingkaran terhadap kenyataan tersebut akan selalu membangkitkan usaha penangkalan dan penentangan; penjelmaan kedua usaha itu sekaligus memantulkan tinggi­nendahnya denajat ketahanan bangsa dan budayanya. Demikianlah arns globalisme yang kian meningkat pada suatu saat niscaya akan dirasakan memudarkan nilai-nilai budaya bangsa, dan terpaan globalisme itu akhimya akan membangkitkan nasionalisme sebagai jawabannya. Mengikuti apa yang diajarkan oleh pakar sejanah Arnold Toynbee, proses sejarah adalah berangkainya sahut-menyahut antara challenge and respons, maka globalisme sebagai challenge niscaya akan menghadapi nasionalisme sebagai respons. Mustahil globalisme akan benlanjut hingga takluk dan punahnya keanekaragaman budaya dalam kehidupan umat manusia; mustahil globalisme akan benlanjut hingga timbulnya kebudayaan universal yang tunggal.

Susila yang seharusnya meyertai kenyataan tersebut ialah upaya saling­kenal dan saling-apresiasi antar-suku dan antar-bangsa, tanpa sesuatu fihak merasa superior dan memandang inferior fihak lainnya. Hubungan antar-budaya tidak bisa direntang pada skala superior-inferior. Setiap manifesatsi budaya selalu mengisyaratkan apa saja yang sepanjang sejarah eksistensi masyarakat pendukungnya dianggap sebagai penjelmaan kebaikan (good) dan kebajikan (virtue). Dalam analisis akhimya dapat disimpulkan bahwa -dan sudutpandang masyarakat pendukungnya- setiap kebudayaan merupakan transendensi manusia terhadap lingkungan alamiahnya. Setiap tahap dalam perkembangan kebudayaan menunjukkan adanya kontinuitas tertentu dan genenasi-ke-generasi dalam masyanakat pendukungnya. Kebudayaan benmakna sebagai kenangka acuan bagi carapandang masyarakat pendukungnya tentang kesejanahannya (historicity), yaitu seluruh rentangan masalalu-masakini-masadepan eksistensinya. Perkembangan kebudayaan selalu disertai oleh bekerjanya serentak daya preservatif dan daya progresif; bekerjanya kedua daya itulah yang menjadikan perkembangan kebudayaan sebagai suatu evolusi kreatif yang setiap tahapnya pada gilirannya merupakan sehimpunan potensi barn bagi aktualisasi selanjutnya. Maka selama sesuatu kebudayaan masih memiliki daya pneservatif dan daya pnognesif serta benlanjutnya perkembangannya sebagai evolusi kneatif, maka selama itu kebudayaan menjadi pijakan bersikap dan berpenilaku bagi masyarakat pendukungnya dalam menghadapi berbagai tantangan sepanjang perjalanan sejarahnya.

Bebenapa sumben pustaka:

Bull, H. & Watson, A. University Press, Oxford, 1984.

“Expansion of the international community”, Oxford

Cassirer, E. “An essay on man; an introduction to a philosophy of human culture”, New Haven and London, Yale University Press, 1944, renewed 1972. Buku mi memuat uraian yang komprehensiftentang kebudayaan sebgai gejala kemanusiaan.

Clark, I. “Globalization and Fragmentation”, Oxford University Press Inc., New York, 1977. Dalam buku mi disajikan berbagai pendapat tentang globalisasi serta terjadinya fragmentasi dalam pola interaksi global.

Harvey, D. “The condition of post-modernity”, Blackweii Publ. Inc., Oxford, 1990/repr. 1995. Harvey menjabarkan kodisi kemanusiaan dalam masa pasca-modemisme.

Huntington, S. “The clash of civilizations and the remaking of world order”

(Simon & Schuster, New York, 1966. Buku mm terkenal sebagai salah satu karya yang

meramalkan berbagai kecenderungan global, terutama berkenaan dengan pertemuan antarbudaya Barat-Nonbarat.

Korten, D.C. “When corporation rule the world”, co-publication of Kumarian Press Inc., West Hartford, CT. and Berret-Koehler Publishers, San Francisco, CA., 1996.

Dalam buku mi David Korten melakukan kritik terhadap trio IMF-World Bank-WTO dan pengaruhnya pada perwujudan ‘global capitalism’.

Korten, D.C. “The post-corporate world” (penerbit: s.d.a., 1999); khususnya Part IV/l 1 “Culture sh~fl” dan 1V114 “Engaging the future “. Dalam buku liii D.Korten melengkapi pandangannya yang dimuat dalam bukunya yang pertama di atas ml.

Martin, H-P & Schumann, H. “The Global Trap: Globalization and the assault on prosperity and democracy” (Zed Books Ltd, London, 1997). Khususnya bab 1 tentang “The 20:80 society”, him 1 s/d 11 dan bab penutup tentang saran pencegahannya “Ten ways to prevent the 20:80 society”, him 241-243.

Mazrui, A.A. “Cultural forces in world politics” (James Currey, London, 1990).

Buku ml menggambarkan betapa kebudayaan berpengaruh dalam pola hubungan politik antarbangsa.

Wallerstein, I. “Geopolitics and Geoculture: Essays on the changing world-system” (Cambridge: Cambridge University Press, 1991). Buku mm bisa melengkapi pandangan tentang A.A. Mazrui tersbut di atas.

Bahan bahasan dan jawaban.

1) Pembicaraan tentang globalisasi seringkali melengahkan prosesnya yang berkenaan dengan persebaran gagasan dan ideologi (ideas and ideologies) secara global. Tekanan lebih diletakkan pada globalisasi di bidang ekonomi dan perdagangan, apalagi setelah berfungsinya I.M.F­W.B.-W.T.O. sebagai trio yang mengatur kaidah perilaku (codes of conduct) dalam bidang tersebut. Globalisasi juga diterapkan sebagai bagian esensial dalam geopoiitik yang pelaku-pelakunya dapat digolongkan dalam berbagai ‘ukuran kekuatan’, a.l. yang disebut kekuatan-kekuatan global (global powers) , yaitu kekuatan-kekuatan yang sesuai keperluan dan kepentingannya dapat menghadirkan din di belahan dunia mana saja. Yang sering diabaikan ialah kenyataan makin meningkatnya pertemuan antar-budaya pada skala global; padahal justru dalam bidang inilah terjadinya pengalihan nilai-nilai (transfer of values) yang selanjutnya bisa berdampak terhadap reorientasi nilai-nilai dan gayahidup (l~fesiyle) masyarakat yang terlibat dalam pertemuan itu. Ketimpangan dalam kaitan mi ialah bahwa proses pengalihan nilai-nilai itu cenderung terjadi secara satu-arah (one-way), yaitu dan fihak yang menguasai pemanfaatan teknologi canggih dalam media komunikasi sebagai pengirim (transmitter) kepada fihak yang tertinggal dalam penguasaan teknologi ybs sebagai penerima (receiver). Maka disequilibrium menandai perwujudan asas ‘free flow of information” sebagaimana dianjurkan oleh UNESCO.

J: Dengan dibubarkannya Departemen Penerangan dan belum adanya badan penggantinya, maka pertanyaan yang mendesak ialah sejauhmana kesiapan kita untuk menyebarkan bahan informasi yang bisa merupakan imbangan daiam “free flow of information” pada skala global. Menghadapi tantangan mi fungsi penerangan hams segera dipulihkan dan ditringkatkan kesanggupannya secara optimal untuk sejauh mungkin menjadi pengimbang terhadap anus informasi asing, khususnya yang berkenaan dengan dinamika kehidupan nasional kita. Kerjasama antara sesama kantor berita sekawasan Asia-Pasifik periu digalang selekasnya.

2) Pada bulan September 1995, suatu pertemuan diselenggarakan di
Fairmont Hotel, San Francisco, yang diikuti oleh 1k 500 peserta yang
terdiri dan tokoh-tokoh terkemuka dunia dan berbagai bidang kegiatan
dan keahlian serta benasal dan berbagai benua. Pertemuan mi dipimpin
oleh Mikhael Gorbachev —yang menyebut forum mi sebagai “the global
brains trust”— dan diharapkan dapat menghasilkan gambaran tentang
kecenderungnan perkembangan “the new civilization” memasuki abad
ke-2 1. Salah satu kesimpulan dan diskusi intensif selama tiga han

pertemuan tsb ialah, bahwa dalam abad mendatang… “2 0% of the population will suffice to keep the economy going. “… “A fifth of all job-seekers will be enough to produce all the commodities and to furnish the high-value services that world society will be able to afford” Sejauhmana kecendenungan demikian itu dapat kita terima dan bagaimana selanjutnya antisipasi kita tenhadap kemungkinan terwujudnya apa yang kemudian terkenal sebagai “the 20:80 society” itu, baik pada skala global maupun pada tataran nasional?

J: Andaikata angka 20:80 itu tidak sepenuhnya tepat, namun perbandingan tersebut cukup menggambarkan bahwa perkembangan selanjutnya dalam era modem dan pasca-modem kiranya akan ditandai oleh kesenjangan yang menganga antara mereka yang maju dan mereka yang tertinggal; golongan pertama bisa bertahan secara produktif, sedangkan yang kedua terutama cenderung konsumtif. Tantangan mi tidak bisa lain kecuali hams dihadapi dengan peningkatan ikhtiar pendidikan nasional, balk kuantitatif maupun kualitatif.

3) “Never before have so many people heard and known so much about the rest of the world. For the first time in history, humanity is united by a common image of reality”. Dalam minus mi tercakup terpaan informasi yang berpengaruh terhadap terjadinya perubahan nilai-nilai budaya dan norma-norma penilaku. Penlu kita tinjau sejauhmana hal mi mulai tenasa dampaknya terhadap masyarakat kita, khususnya generasi mudanya? Sudahkah kita cukup mengkaji kemungkinan dialaminya keterasingan budaya oleh generasi muda kita dan membiarkan informasi dan budaya asing seluas dan sebebas rnungkin menerpa masyarakat kita melalui berbagai sarana teknologi modern dan canggih?

J: Erat kaitannya dengan 1) di atas, “common image of reality” itu terbentuk oleh globalisasi gagasan dan wawasan mengenai berbagai gej ala dan peristiwa yang menerpa masyarakat manusia umumnya. Sebagai konsekuensinya terbentuk pula common attitude” terhadap berbagai gej ala dan peristiwa itu dan —dengan atau tanpa disadani— kita pun cenderung memandang relevansi dan signifikansi berbagai permasalahan masyarakat manusia sesuai dengan “common attitude” itu. Keterhanyutan sedemikian itu dapat dihadapi dengan upaya menyegarkan kesadaran kesejarahan kita sebagai bangsa serta ketahanan budaya kita.

4) “Resistance to the all-pervasive forces of modernization along western lines.., has become a major characteristic of the twentieh century. “ (lihat daftar kutipan tenlampin). mi berarti bahwa pada saatnya dan dalam tubuh bangsa-bangsa non-B arat akan timbul penlawanan terhadap apa yang terkesan sebagai upaya pem-barat-an (westernization). Hal mi juga tersirat dalam analisis Huntington, apalagi melalui minus “the West and the rest.” Maka penlu diperkirakan sejauhmana tenhadap berlarut­larutnya proses pem-barat-an itu akan timbul sikap penolakan dalam

masyarakat kita, dan bentuknya yang moderat hingga yang eksesif. ~ Dalam hubungan mi kiranya akan makin menonjol kecenderungan untuk ~ menghadapi meningkatnya materialisme dengan spiritualisme, termasuk pengukuhan agama sebagai pangkal orientasi dalam pen kehidupan ~ individual maupuin kolektif. Kecenderungan untuk menangkal ~ materialisme dengan beronientasi pada nilai-nilai spiritual mi bahkan sudah menggej ala di lingkungan berbagai masyarakat yang tergolong maju dalam penguasaan ilmu dan teknologi.

J: Kita perlu mencermati sejauhmana reaksi masyarakat terhadap berbagai perubalian

sikap dan perilaku —singkatnya: gayahidup— yang sekarang berlangsung dapat ~

menimbulkan susasana yang kondusif bagi terjadinya reaksi berdasarkan ‘hukuni .

pendulum’, yaitu gerak-balik ke arah lawannya (swinging to the other extreme). Kalau ~

benar demikian, maka hams dicermati sejaubmana gerak-balik pendulum itu dapat di- ~

antisipasi dan diperkirakan berbagai modusnya.

5) Erat kaitannya dengan proses pem-barat-an ialah nyaris disakralkannya demokrasi sebagai tatanan kemasyarakatan dan kenegaraan. Segala manifestasi yang didasarkan pada mantra “demi demokrasi” cenderung dibenarkan. Demokrasi semakin cenderung diidentikkan sebagai “kebajikan universal” (common virtue), sehingga berbagai pengambilan keputusan harus ‘dibeni corak demokratis’. Dalam kenyataannya demokrasi dewasa mi hanya tersalur melalui berbagai bentuk korporasi yang selanjutnya bertindak ‘atas nama orang banyak’. Sejalan dengan semangat ‘laissez faire’, maka demokrasi semakin menjadi pembenaran terhadap berbagai kesenjangan dan ketimpangan dalam tatanan kemasyanakan dan kenegaraan. Yang kian menggejala ialah betapa demokrasi membenarkan tumbuhnya elitisme sosial dan politik. Demokrasi dalam era modem mi tampaknya makin menjauh dan asas “liberté, egalité, fraternité” yang sangat memperhatikan dan menghargai martabat manusia sebagai eksistensi pnibadi.

J: Kita bisa menerima demokrasi sebagai tatanan kemasyarakatan dan kenegaraan. Dengan catatan, bahwa demokrasi tidak boleh mengabaikan hak dan martabat (right and dignity) manusia sebagai eksistensi personal. Demokrasi juga hams dihindarkan menjadi alat rekayasa kekuasaan ‘atas dasar majoritas suara’ belaka. Dalam demokrasi sejati tetap berLaku “the force of logic” dan bukannya “the logic of force “. Hal liii perlu ditekankan sebagai bagian dafl pendidikan menuju demokrasi, agar kebiasaan unjuk-kekuatan (show of force) tidak gampang menjadi pilihan untuk memaksakan kehendak ‘suara terbanyak’. N.B.: yang banyak belum pasti berarti balk —apalagi pasti benar—, sedang yang balk pasti berarti banyak.

Cara Praktis Merakit PC Komputer !

Cara Praktis Merakit PC Komputer !
Pada dasarnya merakit PC itu cukup mudah, hanya saja dibutuhkan ke telitian saat
mengerjakanya.. sehingga hasilnya cukup memuaskan diri kita

Komponen perakitko mpu t er tersedia di pasaran dengan beragam pilihan kualitas dan harga. Dengan merakit sendiri komputer, kita dapat menentukan jenis komponen, kemampuan serta fasilitas dari komputer sesuai kebutuhan.Tahapan dalam perakitan komputer terdiri dari:
A.
Persiapan
B.
Perakitan
C.
Pengujian
D. Penanganan Masalah Persiapan yang baik akan memudahkan dalam perakitan komputer

serta menghindari permasalahan yang mungkin timbul.Hal yang terkait dalam persiapan meliputi: Prosessor lebih mudah dipasang sebelum motherboard menempaticasing. Cara memasang prosessor jenissoc ke t dan slot berbeda.Jenis socket
Persiapan
1.Penentuan Konfigurasi Komputer
2. Persiapan Kompunen dan perlengkapan
3. Pengamanan
Penentuan Konfigurasi Komputer

Konfigurasi komputer berkait dengan penentuan jenis komponen dan fitur dari komputer serta bagaimana seluruh komponen dapat bekerja sebagai sebuah sistem komputer sesuai keinginan kita.Penentuan komponen dimulai dari jenis prosessor,mo t he rboa rd, lalu komponen lainnya. Faktor kesesuaian atau kompatibilitas dari komponen terhadap motherboard harus diperhatikan, karena setiap jenis motherboard mendukung jenis prosessor, modul memori, port dan I/O bus yang berbeda-beda.
Persiapan Komponen dan Perlengkapan

Komponen komputer beserta perlengkapan untuk perakitan dipersiapkan untuk perakitan dipersiapkan lebih dulu untuk memudahkan perakitan. Perlengkapan yang disiapkan terdiri dari:•
Komponen komputer

Kelengkapan komponen seperti kabel, sekerup, jumper, baut dan sebagainya

Buku manual dan referensi dari komponen

Alat bantu berupa obeng pipih dan philips
Software sistem operasi, device driver dan program aplikasi.

Buku manual diperlukan sebagai rujukan untuk mengatahui diagram posisi dari elemen koneksi (konektor, port danslo t) dan elemen konfigurasi (jumper dan switch) beserta cara setting jumper dan switch yang sesuai untuk komputer yang dirakit.Diskette atau CD Software diperlukan untuk menginstall Sistem Operasi, device driver dari piranti, dan program aplikasi pada komputer yang selesai dirakit.
Pengamanan

Tindakan pengamanan diperlukan untuk menghindari masalah seperti kerusakan komponen oleh muatan listrik statis, jatuh, panas berlebihan atau tumpahan cairan.Pencegahan kerusakan karena listrik statis dengan cara:

Menggunakan gelang anti statis atau menyentuh permukaan logam pada
casing sebelum memegang komponen untuk membuang muatan statis.


Tidak menyentuh langsung komponen elektronik, konektor atau jalur rangkaian tetapi memegang pada badan logam atau plastik yang terdapat pada komponen.
Perakitan
Tahapan proses pada perakitan komputer terdiri dari:

1.Penyiapan motherboard
2.Memasang Prosessor
3.Memasang heatsink
4.Memasang Modul Memori

5.memasang Motherboard pada Casing
6.Memasang Power Supply
7.Memasang Kabel Motherboard dan Casing
8.Memasang Drive
9.Memasang card Adapter
10.Penyelesaian
Akhir
1. Penyiapan motherboard

Periksa buku manual motherboard untuk mengetahui posisi jumper untuk pengaturan CPU speed, speed multiplier dan tegangan masukan ke motherboard. Atur seting jumper sesuai petunjuk, kesalahan mengatur jumper tegangan dapat merusak prosessor.
2. Memasang Prosessor
1.Tentukan posisi pin 1 pada prosessor dan socket prosessor di motherboard, umumnya
terletak di pojok yang ditandai dengan titik, segitiga atau lekukan.
2.Tegakkan posisi tuas pengunci socket untuk membuka.
3.Masukkan prosessor ke socket dengan lebih dulu menyelaraskan posisi kaki-kaki
prosessor dengan lubang socket. rapatkan hingga tidak terdapat celah antara prosessor
dengan socket.
4. Turunkan kembali tuas pengunci.
Jenis Slot
1.Pasang penyangga (bracket) pada dua ujung slot di motherboard sehingga posisi lubang
pasak bertemu dengan lubang di motherboard
2. Masukkan pasak kemudian pengunci pasak pada lubang pasak
Selipkan card prosessor di antara kedua penahan dan tekan hingga tepat masuk ke lubang slot.
Beberapa jenis casing sudah dilengkapi power supply. Bila power supply belum disertakan maka
cara pemasangannya sebagai berikut:
3. Memasang Heatsink

Fungsi heatsink adalah membuang panas yang dihasilkan oleh prosessor lewat konduksi panas dari prosessor ke heatsink.Untuk mengoptimalkan pemindahan panas maka heatsink harus dipasang rapat pada bagian atas prosessor dengan beberapa clip sebagai penahan sedangkan permukaan kontak pada heatsink dilapisi gen penghantar panas.Bila heatsink dilengkapi dengan fan maka konektor power pada fan dihubungkan ke konektor fan pada motherboard.
4. Memasang Modul Memori

Modul memori umumnya dipasang berurutan dari nomor socket terkecil. Urutan pemasangan dapat dilihat dari diagram motherboard.Setiap jenis modul memori yakni SIMM, DIMM dan RIMM dapat dibedakan dengan posisi lekukan pada sisi dan bawah pada modul.Cara memasang untuk tiap jenis modul memori sebagai berikut.
Jenis SIMM

1.Sesuaikan posisi lekukan pada modul dengan tonjolan pada slot.
2.Masukkan modul dengan membuat sudut miring 45 derajat terhadap slot
3.Dorong hingga modul tegak pada slot, tuas pengunci pada slot akan otomatis mengunci
modul.
Jenis DIMM dan RIMM

Cara memasang modul DIMM dan RIMM sama dan hanya ada satu cara sehingga tidak akan terbalik karena ada dua lekukan sebagai panduan. Perbedaanya DIMM dan RIMM pada posisi lekukan
1.Rebahkan kait pengunci pada ujung slot
2.sesuaikan posisi lekukan pada konektor modul dengan tonjolan pada slot. lalu masukkan
modul ke slot.
3.Kait pengunci secara otomatis mengunci modul pada slot bila modul sudah tepat
terpasang.
5. Memasang Motherboard pada Casing
Motherboard dipasang ke casing dengan sekerup dan dudukan (standoff). Cara pemasangannya
sebagai berikut:
1.Tentukan posisi lubang untuk setiap dudukan plastik dan logam. Lubang untuk dudukan
logam (metal spacer) ditandai dengan cincin pada tepi lubang.
2.Pasang dudukan logam atau plastik pada tray casing sesuai dengan posisi setiap lubang
dudukan yang sesuai pada motherboard.
3.Tempatkan motherboard pada tray casing sehinga kepala dudukan keluar dari lubang
pada motherboard. Pasang sekerup pengunci pada setiap dudukan logam.
4.Pasang bingkai port I/O (I/O sheild) pada motherboard jika ada.
5.Pasang tray casing yang sudah terpasang motherboard pada casing dan kunci dengan
sekerup.
6. Memasang Power Supply
1.Masukkan power supply pada rak di bagian belakang casing. Pasang ke empat buah
sekerup pengunci.
2.HUbungkan konektor power dari power supply ke motherboard. Konektor power jenis

ATX hanya memiliki satuca ra pemasangan sehingga tidak akan terbalik. Untuk jenis non ATX dengan dua konektorya ng terpisah maka kabel-kabel ground warna hitam harus ditempatkan bersisian dan dipasang pada bagian tengah dari konektor power motherboard. Hubungkan kabel daya untuk fan, jika memakai fan untuk pendingin CPU.
7. Memasang Kabel Motherboard dan Casing
Setelah motherboard terpasang di casing langkah selanjutnya adalah memasang kabel I/O pada
motherboard dan panel dengan casing.
1.Pasang kabel data untuk floppy drive pada konektor pengontrol floppy di motherboard
2.Pasang kabel IDE untuk pada konektor IDE primary dan secondary pada motherboard.
3.Untuk motherboard non ATX. Pasang kabel port serial dan pararel pada konektor di
motherboard. Perhatikan posisi pin 1 untuk memasang.
4.Pada bagian belakang casing terdapat lubang untuk memasang port tambahan jenis non
slot. Buka sekerup pengunci pelat tertutup lubang port lalumasukkan port konektor
yang ingin dipasang dan pasang sekerup kembali.
5.Bila port mouse belum tersedia di belakang casing maka card konektor mouse harus
dipasang lalu dihubungkan dengan konektor mouse pada motherboard.

6. Hubungan kabel konektor dari switch di panel depan casing, LED, speaker internal dan port yang terpasang di depan casing bila ada ke motherboard. Periksa diagram motherboard untuk mencari lokasi konektor yang tepat.
8. Memasang Drive

Prosedur memasang drive hardisk, floppy, CD ROM, CD-RW atau DVD adalah sama sebagai berikut: Cara memasang adapter:Komputer yang baru selesai dirakit dapat diuji dengan menjalankan program setup BIOS. Cara melakukan pengujian dengan program BIOS sebagai berikut:
1. Copot pelet penutup bay drive (ruang untuk drive pada casing)
2. Masukkan drive dari depan bay dengan terlebih dahulu mengatur seting jumper (sebagai

master atau slave) pada drive.
3. Sesuaikan posisi lubang sekerup di drive dan casing lalu pasang sekerup penahan drive.
4. Hubungkan konektor kabel IDE ke drive dan konektor di motherboard (konektor primary
dipakai lebih dulu)
5. Ulangi langkah 1 samapai 4 untuk setiap pemasangan drive.
6. Bila kabel IDE terhubung ke du drive pastikan perbedaan seting jumper keduanya yakni
drive pertama diset sebagai master dan lainnya sebagai slave.
7. Konektor IDE secondary pada motherboard dapat dipakai untuk menghubungkan dua
drive tambahan.
8. Floppy drive dihubungkan ke konektor khusus floppy di motherboard
Sambungkan kabel power dari catu daya ke masing-masing drive.
Card adapter yang umum dipasang adalah video card, sound, network, modem dan SCSI
adapter. Video card umumnya harus dipasang dan diinstall sebelum card adapter lainnya.
9. Memasang Card Adapter
1. Pegang card adapter pada tepi, hindari menyentuh komponen atau rangkaian

elektronik. Tekan card hingga konektor tepat masuk pada slot ekspansi di motherboard
2. Pasang sekerup penahan card ke casing
3. Hubungkan kembali kabel internal pada card, bila ada.
10. Penyelessaian Akhir

1. Pasang penutup casing dengan menggeser
2. sambungkan kabel dari catu daya ke soket dinding.
3. Pasang konektor monitor ke port video card.
4. Pasang konektor kabel telepon ke port modem bila ada.
5. Hubungkan konektor kabel keyboard dan konektor mouse ke port mouse atau poert
serial (tergantung jenis mouse).
6. Hubungkan piranti eksternal lainnya seperti speaker, joystick, dan microphone bila ada
ke port yang sesuai. Periksa manual dari card adapter untuk memastikan lokasi port.
Pengujian
1. Hidupkan monitor lalu unit sistem. Perhatikan tampilan monitor dan suara dari speaker.

2. Program FOST dari BIOS secara otomatis akan mendeteksi hardware yang terpasang dikomputer. Bila terdapat kesalahan maka tampilan monitor kosong dan speaker mengeluarkan bunyi beep secara teratur sebagai kode indikasi kesalahan. Periksa referensi kode BIOS untuk mengetahui indikasi kesalahan yang dimaksud oleh kode beep.

3. Jika tidak terjadi kesalahan maka monitor menampilkan proses eksekusi dari program POST. ekan tombol interupsi BIOS sesuai petunjuk di layar untuk masuk ke program setup BIOS.
4. Periksa semua hasil deteksi hardware oleh program setup BIOS. Beberapa seting
mungkin harus dirubah nilainya terutama kapasitas hardisk dan boot sequence.
5. Simpan perubahan seting dan keluar dari setup BIOS.

Setelah keluar dari setup BIOS, komputer akan meload Sistem OPerasi dengan urutan pencarian sesuai seting boot sequence pada BIOS. Masukkan diskette atau CD Bootable yang berisi sistem operasi pada drive pencarian.
Penanganan Masalah
Permasalahan yang umum terjadi dalam perakitan komputer dan penanganannya antara lain:
1. Komputer atau monitor tidak menyala, kemungkinan disebabkan oleh switch atau kabel
daya belum terhubung.
2. Card a




Jumat, 22 Juli 2011









world of Islam

World of Islam
The Spread of Islam
From the oasis cities of Makkah and Madinah in the Arabian desert, the message of Islam went forth with electrifying speed. Within half a century of the Prophet's death, Islam had spread to three continents. Islam is not, as some imagine in the West, a religion of the sword nor did it spread primarily by means of war. It was only within Arabia, where a crude form of idolatry was rampant, that Islam was propagated by warring against those tribes which did not accept the message of God--whereas Christians and Jews were not forced to convert. Outside of Arabia also the vast lands conquered by the Arab armies in a short period became Muslim not by force of the sword but by the appeal of the new religion. It was faith in One God and emphasis upon His Mercy that brought vast numbers of people into the fold of Islam. The new religion did not coerce people to convert. Many continued to remain Jews and Christians and to this day important communities of the followers of these faiths are found in Muslim lands.

Moreover, the spread of Islam was not limited to its miraculous early expansion outside of Arabia. During later centuries the Turks embraced Islam peacefully as did a large number of the people of the Indian subcontinent and the Malay-speaking world. In Africa also, Islam has spread during the past two centuries even under the mighty power of European colonial rulers. Today Islam continues to grow not only in Africa but also in Europe and America where Muslims now comprise a notable minority.
General Characteristics of Islam
Islam was destined to become a world religion and to create a civilization which stretched from one end of the globe to the other. Already during the early Muslim caliphates, first the Arabs, then the Persians and later the Turks set about to create classical Islamic civilization. Later, in the 13th century, both Africa and India became great centers of Islamic civilization and soon thereafter Muslim kingdoms were established in the Malay-Indonesian world while Chinese Muslims flourished throughout China.
Global Religion
Islam is a religion for all people from whatever race or background they might be. That is why Islamic civilization is based on a unity which stands completely against any racial or ethnic discrimination. Such major racial and ethnic groups as the Arabs, Persians, Turks, Africans, Indians, Chinese and Malays in addition to numerous smaller units embraced Islam and contributed to the building of Islamic civilization. Moreover, Islam was not opposed to learning from the earlier civilizations and incorporating their science, learning, and culture into its own world view, as long as they did not oppose the principles of Islam. Each ethnic and racial group which embraced Islam made its contribution to the one Islamic civilization to which everyone belonged. The sense of brotherhood and sisterhood was so much emphasized that it overcame all local attachments to a particular tribe, race, or language--all of which became subservient to the universal brotherhood and sisterhood of Islam.

The global civilization thus created by Islam permitted people of diverse ethnic backgrounds to work together in cultivating various arts and sciences. Although the civilization was profoundly Islamic, even non-Muslim "people of the book" participated in the intellectual activity whose fruits belonged to everyone. The scientific climate was reminiscent of the present situation in America where scientists and men and women of learning from all over the world are active in the advancement of knowledge which belongs to everyone.

The global civilization created by Islam also succeeded in activating the mind and thought of the people who entered its fold. As a result of Islam, the nomadic Arabs became torch-bearers of science and learning. The Persians who had created a great civilization before the rise of Islam nevertheless produced much more science and learning in the Islamic period than before. The same can be said of the Turks and other peoples who embraced Islam. The religion of Islam was itself responsible not only for the creation of a world civilization in which people of many different ethnic backgrounds participated, but it played a central role in developing intellectual and cultural life on a scale not seen before. For some eight hundred years Arabic remained the major intellectual and scientific language of the world. During the centuries following the rise of Islam, Muslim dynasties ruling in various parts of the Islamic world bore witness to the flowering of Islamic culture and thought. In fact this tradition of intellectual activity was eclipsed only at the beginning of modern times as a result of the weakening of faith among Muslims combined with external domination. And today this activity has begun anew in many parts of the Islamic world now that the Muslims have regained their political independence.
A Brief History of Islam
The Rightly guided Caliphs
Upon the death of the Prophet, Abu Bakr, the friend of the Prophet and the first adult male to embrace Islam, became caliph. Abu Bakr ruled for two years to be succeeded by 'Umar who was caliph for a decade and during whose rule Islam spread extensively east and west conquering the Persian empire, Syria and Egypt. It was 'Umar who marched on foot at the end of the Muslim army into Jerusalem and ordered the protection of Christian sites. 'Umar also established the first public treasury and a sophisticated financial administration. He established many of the basic practices of Islamic government.

'Umar was succeeded by 'Uthman who ruled for some twelve years during which time the Islamic expansion continued. He is also known as the caliph who had the definitive text of the Noble Quran copied and sent to the four corners of the Islamic world. He was in turn succeeded by 'Ali who is known to this day for his eloquent sermons and letters, and also for his bravery. With his death the rule of the "rightly guided" caliphs, who hold a special place of respect in the hearts of Muslims, came to an end.
The Caliphate
Umayyad
The Umayyad caliphate established in 661 was to last for about a century. During this time Damascus became the capital of an Islamic world which stretched from the western borders of China to southern France. Not only did the Islamic conquests continue during this period through North Africa to Spain and France in the West and to Sind, Central Asia and Transoxiana in the East, but the basic social and legal institutions of the newly founded Islamic world were established.
Abbasids
The Abbasids, who succeeded the Umayyads, shifted the capital to Baghdad which soon developed into an incomparable center of learning and culture as well as the administrative and political heart of a vast world.

They ruled for over 500 years but gradually their power waned and they remained only symbolic rulers bestowing legitimacy upon various sultans and princes who wielded actual military power. The Abbasid caliphate was finally abolished when Hulagu, the Mongol ruler, captured Baghdad in 1258, destroying much of the city including its incomparable libraries.

While the Abbasids ruled in Baghdad, a number of powerful dynasties such as the Fatimids, Ayyubids and Mamluks held power in Egypt, Syria and Palestine. The most important event in this area as far as the relation between Islam and the Western world was concerned was the series of Crusades declared by the Pope and espoused by various European kings. The purpose, although political, was outwardly to recapture the Holy Land and especially Jerusalem for Christianity. Although there was at the beginning some success and local European rule was set up in parts of Syria and Palestine, Muslims finally prevailed and in 1187 Saladin, the great Muslim leader, recaptured Jerusalem and defeated the Crusaders.
North Africa And Spain
When the Abbasids captured Damascus, one of the Umayyad princes escaped and made the long journey from there to Spain to found Umayyad rule there, thus beginning the golden age of Islam in Spain. Cordoba was established as the capital and soon became Europe's greatest city not only in population but from the point of view of its cultural and intellectual life. The Umayyads ruled over two centuries until they weakened and were replaced by local rulers.

Meanwhile in North Africa, various local dynasties held sway until two powerful Berber dynasties succeeded in uniting much of North Africa and also Spain in the 12th and 13th centuries. After them this area was ruled once again by local dynasties such as the Sharifids of Morocco who still rule in that country. As for Spain itself, Muslim power continued to wane until the last Muslim dynasty was defeated in Granada in 1492 thus bringing nearly eight hundred years of Muslim rule in Spain to an end.
After the Mangol Invasion
The Mongols devastated the eastern lands of Islam and ruled from the Sinai Desert to India for a century. But they soon converted to Islam and became known as the Il-Khanids. They were in turn succeeded by Timur and his descendents who made Samarqand their capital and ruled from 1369 to 1500. The sudden rise of Timur delayed the formation and expansion of the Ottoman empire but soon the Ottomans became the dominant power in the Islamic world.
Ottoman Empire
From humble origins the Turks rose to dominate over the whole of Anatolia and even parts of Europe. In 1453 Mehmet the Conqueror captured Constantinople and put an end to the Byzantine empire. The Ottomans conquered much of eastem Europe and nearly the whole of the Arab world, only Morocco and Mauritania in the West and Yemen, Hadramaut and parts of the Arabian peninsula remaining beyond their control. They reached their zenith of power with Suleyman the Magnificent whose armies reached Hungary and Austria. From the 17th century onward with the rise of Westem European powers and later Russia, the power of the Ottomans began to wane. But they nevertheless remained a force to be reckoned with until the First World War when they were defeated by the Westem nations. Soon thereafter Kamal Ataturk gained power in Turkey and abolished the six centuries of rule of the Ottomans in 1924.
Persia
While the Ottomans were concerned mostly with the westem front of their empire, to the east in Persia a new dynasty called the Safavids came to power in 1502. The Safavids established a powerful state of their own which flourished for over two centuries and became known for the flowering of the arts. Their capital, Isfahan, became one of the most beautiful cities with its blue tiled mosques and exquisite houses. The Afghan invasion of 1736 put an end to Safavid rule and prepared the independence of Afghanistan which occured fommally in the 19th century. Persia itself fell into tummoil until Nader Shah, the last Oriental conqueror, reunited the country and even conquered India. But the rule of the dynasty established by him was short-lived. The Zand dynasty soon took over to be overthrown by the Qajars in 1779 who made Tehran their capital and ruled until 1921 when they were in turn replaced by the Pahlavis.
India
As for India, Islam entered into the land east of the Indus River peacefully. Gradually Muslims gained political power beginning in the early 13th century. But this period which marked the expansion of both Islam and Islamic culture came to an end with the conquest of much of India in 1526 by Babur, one of the Timurid princes. He established the powerful Mogul empire which produced such famous rulers as Akbar, Jahangir, and Shah Jahan and which lasted, despite the gradual rise of British power in India, until 1857 when it was officially abolished.
Malaysia And Indonesia
Farther east in the Malay world, Islam began to spread in the 12th century in northem Sumatra and soon Muslim kingdoms were establishd in Java, Sumatra and mainland Malaysia. Despite the colonization of the Malay world, Islam spread in that area covering present day Indonesia, Malaysia, the southern Phililppines and southern Thailand, and is still continuing in islands farther east.
Africa
As far as Africa is concemed, Islam entered into East Africa at the very beginning of the Islamic period but remained confined to the coast for some time, only the Sudan and Somaliland becoming gradually both Arabized and Islamized. West Africa felt the presence of Islam through North African traders who travelled with their camel caravans south of the Sahara. By the 14th century there were already Muslim sultanates in such areas as Mali, and Timbuctu in West Africa and Harar in East Africa had become seats of Islamic leaming.

Gradually Islam penetrated both inland and southward. There also appeared major charismatic figures who inspired intense resistance against European domination. The process of the Islamization of Africa did not cease during the colonial period and continues even today with the result that most Africans are now Muslims carrying on a tradition which has had practically as long a history in certain areas of sub-Saharan Africa as Islam itself.
Islam in the United States
It is almost impossible to generalize about American Muslims: converts, immigrants, factory workers, doctors; all are making their own contribution to America's future. This complex community is unified by a common faith, underpinned by a countrywide network of a thousand mosques.

Muslims were early arrivals in North America. By the eighteenth century there were many thousands of them, working as slaves on plantations. These early communities, cut off from their heritage and families, inevitably lost their Islamic identity as time went by. Today many Afro-American Muslims play an important role in the Islamic community.

The nineteenth century, however, saw the beginnings of an influx of Arab Muslims, most of whom settled in the major industrial centers where they worshipped in hired rooms. The early twentieth century witnessed the arrival of several hundred thousand Muslims from Eastem Europe: the first Albanian mosque was opened in Maine in 1915; others soon followed, and a group of Polish Muslims opened a mosque in Brooklyn in 1928.

In 1947 the Washington Islamic Center was founded during the term of President Truman, and several nationwide organizations were set up in the fifties. The same period saw the establishment of other communities whose lives were in many ways modelled after Islam. More recently, numerous members of these groups have entered the fold of Muslim orthodoxy. Today there are about five million Muslims in America.
Aftermath of the Colonial Period
At the height of European colonial expansion in the 19th century, most of the Islamic world was under colonial rule with the exception of a few regions such as the heart of the Ottoman empire, Persia, Afghanistan, Yemen and certain parts of Arabia. But even these areas were under foreign influence or, in the case of the Ottomans, under constant threat. After the First World War with the breakup of the Ottoman empire, a number of Arab states such as Iraq became independent, others like Jordan were created as a new entity and yet others like Palestine, Syria and Lebanon were either mandated or turned into French colonies. As for Arabia, it was at this time that Saudi Arabia became finally consolidated. As for other parts of the Islamic world, Egypt which had been ruled by the descendents of Muhammad Ali since the l9th century became more independent as a result of the fall of the Ottomans, Turkey was turned into a secular republic by Ataturk, and the Pahlavi dynasty began a new chapter in Persia where its name reverted to its eastern traditional form of Iran. But most of the rest of the Islamic world remained under colonial rule.
Arab
It was only after the Second World War and the dismemberment of the British, French, Dutch and Spanish empires that the rest of the Islamic world gained its independence. In the Arab world, Syria and Lebanon became independent at the end of the war as did Libya and the shaykdoms around the Gulf and the Arabian Sea by the 1960's. The North African countries of Tunisia, Morocco and Algeria had to fight a difficult and, in the case of Algeria, long and protracted war to gain their freedom which did not come until a decade later for Tunisia and Morocco and two decades later for Algeria. Only Palestine did not become independent but was partitioned in 1948 with the establishment of the state of Israel.
India
In India Muslims participated in the freedom movement against British rule along with Hindus and when independence finally came in 1947, they were able to create their own homeland, Pakistan, which came into being for the sake of Islam and became the most populated Muslim state although many Muslims remained in India. In 1971, however, the two parts of the state broke up, East Pakistan becoming Bengladesh.
Far East
Farther east still, the Indonesians finally gained their independence from the Dutch and the Malays theirs from Britain. At first Singapore was part of Malaysia but it separated in 1963 to become an independent state. Small colonies still persisted in the area and continued to seek their independence, the kingdom of Brunei becoming independent as recently as 1984.
Africa
In Africa also major countries with large or majority Muslim populations such as Nigeria, Senegal and Tanzania began to gain their independence in the 1950's and 1960's with the result that by the end of the decade of the 60's most parts of the Islamic world were formed into independent national states. There were, however, exceptions. The Muslim states in the Soviet Union failed to gain their autonomy or independence. The same holds true for Sinkiang (called Eastem Turkestan by Muslim geographers) while in Eritrea and the southern Philippines Muslim independence movements still continue.
National States
While the world of Islam has entered into the modern world in the form of national states, continuous attempts are made to create closer cooperation within the Islamic world as a whole and to bring about greater unity. This is seen not only in the meetings of the Muslim heads of state and the establishment of the OIC (Organization of Islamic Countries) with its own secretariat, but also in the creation of institutions dealing with the whole of the Islamic world. Among the most important of these is the Muslim World League (Rabitat al-alam al-Islami ) with its headquarters in Makkah. Saudi Arabia has in fact played a pivotal role in the creation and maintenance of such organizations.
Revival and Reassertation of Islam
Muslims did not wish to gain only their political independence. They also wished to assert their own religious and cultural identity. From the 18th century onward Muslim reformers appeared upon the scene who sought to reassert the teachings of Islam and to reform society on the basis of Islamic teachings. One of the first among this group was Muhammad ibn 'Abd al-Wahhab, who hailed from the Arabian peninsula and died there in 1792. This reformer was supported by Muhammad ibn al-Sa'ud, the founder of the first Saudi state. With this support Muhammad ibn 'Abd al-Wahhab was able to spread his teachings not only in Arabia but even beyond its borders to other Islamic lands where his reforms continue to wield influence to this day.

In the 19th century lslamic assertion took several different forms ranging from the Mahdi movement of the Sudan and the Sanusiyyah in North Africa which fought wars against European colonizers, to educational movements such as that of Aligarh in India aiming to reeducate Muslims. In Egypt which, because of al-Azhar University, remains to this day central to Islamic learning, a number of reformers appear, each addressing some aspect of Islamic thought. Some were concerned more with law, others economics, and yet others the challenges posed by Western civilization with its powerful science and technology. These included Jamal al-Din al-Afghani who hailed originally from Persia but settled in Cairo and who was the great champion of Pan-Islamism, that is the movement to unite the Islamic world politically as well as religiously. His student, Muhammad 'Abduh, who became the rector of al-Azhar. was also very influential in Islamic theology and thought. Also of considerable influence was his Syrian student, Rashid Rida, who held a position closer to that of 'Abd al-Wahhab and stood for the strict application of the Shari'ah. Among the most famous of these thinkers is Muhammad Iqbal, the outstanding poet and philosopher who is considered as the father of Pakistan.
Reform Organizations
Moreover, as Western influence began to penetrate more deeply into the fiber of Islamic society, organizations gradually grew up whose goal was to reform society in practice along Islamic lines and prevent its secularization. These included the Muslim Brotherhood (Ikhwan al-muslimin) founded in Egypt and with branches in many Muslim countries, and the Jama'at-i Islami of Pakistan founded by the influential Mawlana Mawdudi. These organizations have been usually peaceful and have sought to reestablish an Islamic order through education. During the last two decades, however, as a result of the frustration of many Muslims in the face of pressures coming from a secularized outside world, some have sought to reject the negative aspects of Western thought and culture and to return to an Islamic society based completely on the application of the Shari 'ah. Today in every Muslim country there are strong movements to preserve and propagate Islamic teachings. In countries such as Saudi Arabia Islamic Law is already being applied and in fact is the reason for the prosperity, development and stability of the country. In other countries where Islamic Law is not being applied, however, most of the effort of Islamic movements is spent in making possible the full application of the Shari'ah so that the nation can enjoy prosperity along with the fulfillment of the faith of its people. In any case the widespread desire for Muslims to have the religious law of Islam applied and to reassert their religious values and their own identity must not be equated with exceptional violent eruptions which do exist but which are usually treated sensationally and taken out of proportion by the mass media in the West.
Education and Science in the Islamic World
In seeking to live successfully in the modern world, in independence and according to Islamic principles, Muslim countries have been emphasizing a great deal the significance of the role of education and the importance of mastering Western science and technology. Already in the 19th century, certain Muslim countries such as Egypt, Ottoman Turkey and Persia established institutions of higher learning where the modem sciences and especially medicine were taught. During this century educational institutions at all levels have proliferated throughout the Islamic world. Nearly every science ranging from mathematics to biology as well as various fields of modern technology are taught in these institutions and some notable scientists have been produced by the Islamic world, men and women who have often combined education in these institutions with training in the West.

In various parts of the Islamic world there is, however, a sense that educational institutions must be expanded and also have their standards improved to the level of the best institutions in the world in various fields of leaming especially science and technology. At the same time there is an awareness that the educational system must be based totally on Islamic principles and the influence of alien cultural and ethical values and norms, to the extent that they are negative, be diminished. To remedy this problem a number of international Islamic educational conferences have been held, the first one in Makkah in 1977, and the foremost thinkers of the Islamic world have been brought together to study and ponder over the question of the relation between Islam and modern science. This is an ongoing process which is at the center of attention in many parts of the Islamic world and which indicates the significance of educational questions in the Islamic world today.
Influence of Islamic Science and Learning Upon the West
The oldest university in the world which is still functioning is the eleven hundred-year-old Islamic university of Fez, Morocco, known as the Qarawiyyin. This old tradition of Islamic learning influenced the West greatly through Spain. In this land where Muslims, Christians and Jews lived for the most part peacefully for many centuries, translations began to be made in the 11th century mostly in Toledo of Islamic works into Latin often through the intermediary of Jewish scholars most of whom knew Arabic and often wrote in Arabic. As a result of these translations, Islamic thought and through it much of Greek thought became known to the West and Western schools of learning began to flourish. Even the Islamic educational system was emulated in Europe and to this day the term chair in a university reflects the Arabic kursi (literally seat) upon which a teacher would sit to teach his students in the madrasah (school of higher learning). As European civillization grew and reached the high Middle Ages, there was hardly a field of learning or form of art, whether it was literature or architecture, where there was not some influence of Islam present. Islamic learning became in this way part and parcel of Western civilization even if with the advent of the Renaissance, the West not only turned against its own medieval past but also sought to forget the long relation it had had with the Islamic world, one which was based on intellectual respect despite religious opposition.
Conclusion
The Islamic world remains today a vast land stretching from the Atlantic to the Pacific, with an important presence in Europe and America, animated by the teachings of Islam and seeking to assert its own identity. Despite the presence of nationalism and various secular ideologies in their midst, Muslims wish to live in the modern world but without simply imitating blindly the ways followed by the West. The Islamic world wishes to live at peace with the West as well as the East but at the same time not to be dominated by them. It wishes to devote its resources and energies to building a better life for its people on the basis of the teachings of Islam and not to squander its resources in either internal or external conflicts. It seeks finally to create better understanding with the West and to be better understood by the West. The destinies of the Islamic world and the West cannot be totally separated and therefore it is only in understanding each other better that they can serve their own people more successfully and also contribute to a better life for the whole of humani

Guruku

Guru yang baik bukan hanya yang bersertifikasi. Guru yang baik bukan hanya mereka yang suka bermake up ria. Guru yang baik bukan h...